Ketika membaca cerita investigasi seorang wartawan tentang rendahnya pendapatan yang diterima kurir pengantar barang, aku jadi merasa trenyuh. Pekerjaan itu berat dan melelahkan, apalagi pada musim hujan. Namun apa boleh buat pekerjaan semakin sulit dicari dan perut juga harus diisi.
Mereka yang mendapatkan pekerjaan dengan gaji UMR atau lebih patut bersyukur karena nyatanya masih banyak pekerja yang mendapatkan gaji yang rendah. Di Jakarta sendiri masih banyak yang mendapatkan gaji di kisaran Rp 1-2 juta.Â
Mereka juga belum tentu mendapatkan tunjangan seperti didaftarkan sebagai anggota BPJS-TK.
Seorang satpam kompleks bercerita ia hanya digaji Rp 1,5 juta sebulan karena ia baru beberapa bulan bekerja. Dengan gaji sebesar itu, ia harus pandai-pandai mengatur uang karena ia sudah beranak istri.Â
Ingin pindah tempat kerja juga tak mudah karena lapangan kerja juga makin terbatas dan peminatnya juga banyak.
Rekan-rekannya yang lebih senior mencari tambahan penghasilan dengan berbagai cara.Â
Ada yang menjadi tukang parkir, menyewakan jasanya untuk menjaga dan membersihkan rumah warga yang sedang bepergian, atau berjualan makanan.
Gaji Rp 1.5 juta bagi yang masih lajang mungkin masih cukup. Tapi bagi mereka yang berkeluarga memang rasanya sangat berat, apalagi jika tinggal di Jakarta dan masih menyewa rumah.
Mengontrak rumah saja sudah berapa. Belum lagi untuk kebutuhan sembako, membayar listrik, membeli pulsa dan lainnya.
Di Twitter beberapa hari lalu juga viral seorang kasir di supermarket yang menerima pendapatan Rp 1 juta/bulan. Ia mendapatkan potongan jika terlambat atau ada barang toko yang hilang. Ada yang bertanya mengapa ia bertahan dan tak pindah bekerja ke tempat yang memberikan gaji lebih baik.
Andaikata ada banyak lapangan pekerjaan dengan gaji layak, tentu tak beredar kisah-kisah seperti ini. Mereka bertahan dengan pendapatan kecil karena keadaan dan kebutuhan.
Kembali ke pendapatan seorang kurir pengantar barang. Di tulisan tersebut si jurnalis selama dua minggu mencoba pekerjaan sebagai kurir dan kelelahan. Ia bercerita bila berhasil mengantar 40 barang dalam sehari maka bisa mendapatkan sekitar Rp 115 ribu.
 Jika kurang satu saja barang yang tak berhasil diantar maka nilainya jauh dari itu, karena jumlah tersebut sudah termasuk bonus.
Angka Rp 115 ribu apabila dikalikan dengan 22 hari kerja tak Rp 3 juta. Baru sekitar Rp 2,5 juta, tidak sampai 60 persen dari UMR Jakarta yang mencapai Rp 4,4 juta. Padahal untuk mendapatkan Rp 115 ribu/hari ada tenaga besar yang harus dikeluarkan.
Masih banyak pekerjaan lainnya yang gajinya masih di bawah UMR.
Andaikata pekerjaan tersebut di bawah perusahaan besar, rasanya pemerintah perlu ikut turun tangan agar pekerja tersebut mendapatkan penghasilan yang sepadan dan layak.Â
Namun mungkin agak sulit apabila tempat mereka bekerja baru sebatas usaha mikro yang baru merintis atau juga usahanya kembang kempis selama pandemi ini.
Mereka yang bergaji di bawah UMR akan berupaya ekstra keras untuk bertahan kota besar. Semoga ada upaya dari pemerintah dan lingkungan tempat ia tinggal untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Semoga kerja keras mereka juga lebih dihargai.
Mereka bukan orang malas. Mereka adalah orang-orang yang pantang menyerah dan pekerja keras, tinggal menunggu dewi fortuna dan perhatian dari pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H