Film "Notebook" Mengingatkan Akan Film "Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara"
Dari segi premis dan konflik film ini memang mengingatkan akan film "Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara". Dalam film tentang Aisyah, digambarkan Aisyah juga guru pengganti dari daratan Jawa. Orang-orang di Duseun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara awalnya mengiranya seorang suster karena menggunakan tudung kepala.
Ketika mereka mengetahui guru mereka berbeda agama, beberapa pihak pun merasa kecewa sama seperti beberapa pihak yang ditemui Rintik. Namun lewat pendekatannya, akhirnya pihak yang kecewa tersebut sadar bahwa perbedaan agama bukanlah halangan dalam dunia pendidikan. Perbedaan adalah suatu yang wajar, apalagi kita hidup di Indonesia yang berbhineka.
Kedua film ini meski premis dan konfliknya agak-agak mirip, namun nuansa dan kesan yang didapatkan berbeda.
Nuansa dalam film "Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara" lebih serius. Laudya Cynthia Bella sebagai Aisyah di film nampak begitu kesulitan beradaptasi di tempat ia bekerja. Susah sinyal, susah air, dan semua fasilitas serba terbatas. Ditambah ada beberapa kalangan yang tak menyukai kehadirannya. Bebannya lebih berat. Namun, ketika akhirnya beban berat tersebut terangkat, semua pihak telah menerimanya, penonton pun ikut merasa lega.
Sedangkan "Notebook" bertemakan ringan dan berwarna-warni. Unsur romantisnya malah lebih kental daripada unsur konflik pertentangannya dengan orang-orang baru yang ditemuinya. Ia mudah dicerna dan dinikmati, namun juga mudah dilupakan.
 Konflik yang dialami Rintik terasa sederhana apabila dibandingkan dengan yang dialami oleh Aisyah. Ia tak nampak kesulitan menyalakan laptopnya, makanan sudah disediakan tiap harinya, air pun tak susah, kendaraan berupa sepeda pun juga tersedia. Ia mendapat fasilitas yang lumayan baik sebagai pengajar.
Ada beberapa bagian dan adegan di film "Notebook" yang agak mengganjal. Misalnya pertemuan Rintik dengan Arsa yang terasa dibuat-buat, seperti komedi romantis jaman 80-an. Komikal. Lalu sikap Rintik yang nampak mudah akrab dengan pria-pria yang baru dikenalnya, padahal ia digambarkan sudah memiliki calon suami dan religius. Adegan-adegan dan puncak konflik menuju film berakhir juga nampak seperti terburu-buru.
Di luar keterbatasan tersebut aku menyukai film ini. Pesan toleransi dan saling menghargai pemeluk agama yang berlainan terlihat dalam film ini.
Amanda Rawles terlihat dewasa di sini. Kali pertama aku menyaksikan performa Amanda di film remaja berjudul "Dear Nathan". Aktingnya makin mantap. Sedangkan penampilan Dimas Anggara tetap memikat karena ia memang sering membintangi film-film drama romantis. Keduanya pernah menjadi pasangan dalam film "The Perfect Husband" sehingga nampak luwes ketika berinteraksi.