Film berjudul "Notebook" yang tayang di Disney+ Hotstar memiliki cerita tentang seorang guru muslim yang mengajar di lingkungan Nasrani.
Premis ini langsung membuatku teringat akan film serupa yang tayang tahun 2016, "Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara". Kedua film ini sama-sama memiliki pesan yang bernas, tentang keberagaman.
Film "Notebook" memiliki karakter utama yang berprofesi sebagai pengajar. Guru bernama Rintik (Amanda Rawles) itu seorang muslimah. Ia menggantikan Suster Theresa untuk mengajar di sekolah dasar di sebuah desa di Sumba.
Kehadirannya membuat heboh banyak pihak di desa tersebut, karena tak ada yang menduga penggantinya adalah seorang guru muslim.
Para siswa cepat beradaptasi dengan guru barunya, meski mereka sempat penasaran. Kepala sekolah, Joseph (Kiki Narendra) juga tak masalah dengan kehadiran Rintik karena sekolahnya sangat memerlukan tambahan guru.
Namun beberapa guru di sekolah tersebut merasa kehadiran Rintik tidaklah tepat di sekolah tersebut. Alasannya murid-murid di sana beragama Nasrani. Mereka was-was orang tua murid akan protes melihat gurunya bukan menganut agama yang sama.
Rintik sendiri adalah gadis yang cantik dan mudah beradaptasi. Sosok Rintik langsung menarik perhatian para pemuda desa tersebut. Terutama Arsa (Dimas Anggara), si pemilik bengkel yang juga keponakan kepala sekolah.
Rintik kerap menulis harapan dan kegelisahannya di buku catatannya. Rupanya ada sesuatu yang disembunyikan Rintik tentang kehidupannya di Jakarta.
Apakah Rintik bakal bertahan mengajar di desa tersebut? Dan apakah warga sekitar menerima Rintik.
Film "Notebook" Mengingatkan Akan Film "Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara"
Dari segi premis dan konflik film ini memang mengingatkan akan film "Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara". Dalam film tentang Aisyah, digambarkan Aisyah juga guru pengganti dari daratan Jawa. Orang-orang di Duseun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara awalnya mengiranya seorang suster karena menggunakan tudung kepala.
Ketika mereka mengetahui guru mereka berbeda agama, beberapa pihak pun merasa kecewa sama seperti beberapa pihak yang ditemui Rintik. Namun lewat pendekatannya, akhirnya pihak yang kecewa tersebut sadar bahwa perbedaan agama bukanlah halangan dalam dunia pendidikan. Perbedaan adalah suatu yang wajar, apalagi kita hidup di Indonesia yang berbhineka.
Kedua film ini meski premis dan konfliknya agak-agak mirip, namun nuansa dan kesan yang didapatkan berbeda.
Nuansa dalam film "Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara" lebih serius. Laudya Cynthia Bella sebagai Aisyah di film nampak begitu kesulitan beradaptasi di tempat ia bekerja. Susah sinyal, susah air, dan semua fasilitas serba terbatas. Ditambah ada beberapa kalangan yang tak menyukai kehadirannya. Bebannya lebih berat. Namun, ketika akhirnya beban berat tersebut terangkat, semua pihak telah menerimanya, penonton pun ikut merasa lega.
Sedangkan "Notebook" bertemakan ringan dan berwarna-warni. Unsur romantisnya malah lebih kental daripada unsur konflik pertentangannya dengan orang-orang baru yang ditemuinya. Ia mudah dicerna dan dinikmati, namun juga mudah dilupakan.
 Konflik yang dialami Rintik terasa sederhana apabila dibandingkan dengan yang dialami oleh Aisyah. Ia tak nampak kesulitan menyalakan laptopnya, makanan sudah disediakan tiap harinya, air pun tak susah, kendaraan berupa sepeda pun juga tersedia. Ia mendapat fasilitas yang lumayan baik sebagai pengajar.
Ada beberapa bagian dan adegan di film "Notebook" yang agak mengganjal. Misalnya pertemuan Rintik dengan Arsa yang terasa dibuat-buat, seperti komedi romantis jaman 80-an. Komikal. Lalu sikap Rintik yang nampak mudah akrab dengan pria-pria yang baru dikenalnya, padahal ia digambarkan sudah memiliki calon suami dan religius. Adegan-adegan dan puncak konflik menuju film berakhir juga nampak seperti terburu-buru.
Di luar keterbatasan tersebut aku menyukai film ini. Pesan toleransi dan saling menghargai pemeluk agama yang berlainan terlihat dalam film ini.
Amanda Rawles terlihat dewasa di sini. Kali pertama aku menyaksikan performa Amanda di film remaja berjudul "Dear Nathan". Aktingnya makin mantap. Sedangkan penampilan Dimas Anggara tetap memikat karena ia memang sering membintangi film-film drama romantis. Keduanya pernah menjadi pasangan dalam film "The Perfect Husband" sehingga nampak luwes ketika berinteraksi.
 Selain kedua pemeran tersebut ada Tanta Ginting, Kiki Narendra, dan Ira Wibowo di sini. Ira berperan sebagai Kristin, ibu angkat Dimas yang menjaga putranya dan penasaran terhadap sosok Rintik yang mencuri hati putranya.
Sedangkan Kiki di sini tak jadi penjahat, melainkan menjadi kepala sekolah. Rasanya menyenangkan melihat Kiki jauh dari peran antagonis yang biasa ia lakoni. Berperan sebagai orang bijak, ia memerankannya dengan baik.
 Satu lagi yang memikat dari film ini adalah latar kisahnya. Ya, latarnya Sumba di Nusa Tenggara Timur. Sumba menjadi tempat latar film favorit. Setelah "Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak", kemudian menyusul "Susah Sinyal", "Pendekar Tongkat Emas",Â
Bentang alam Sumba memang memikat. Berbukit-bukit dan memiliki sabana juga pantai yang indah. Transportasi umumnya juga khas. Dalam film yang dibesut oleh Karsono Hadi ini, panorama Sumba sayangnya kurang terlihat sinematik dan dramatis, biasa saja meski tetap indah. Padahal latar film yang diambil dengan apik juga akan memberikan nilai tambah di film tersebut.
Memang tone dalam film "Notebook" ini tak sedalam dan tak seserius dalam film "Aisyah, Biarkan kami Bersaudara". Ini sebenarnya film drama percintaan dengan bumbu pesan keberagaman. Namun demikian film ini tetap menarik untuk dinikmati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI