Broto meminta maaf kepada istrinya. Namun Ayu bersikukuh untuk meninggalkan rumah. Eh kemudian ibu mertuanya datang (Marini). Keduanya pun kikuk dan berpura-pura menjadi pasangan mesra. Si ibu rupanya berharap banyak agar menantunya segera hamil. Sementara itu Broto masih berhubungan dengan selingkuhannya, namun ia penasaran dengan misteri baju dalam tersebut.
Dari segi cerita, temanya sederhana, tentang perselingkuhan. Ada begitu banyak cerita film Indonesia semacam ini, seperti "Supernova", "Arisan", dan "Wedding Agreement". Namun film "Selesai" ini meski bercerita tentang perselingkuhan, pembahasannya dangkal.
Sejak awal film ini berlarut-larut membahas misteri baju dalam, bukan tentang rasa bersalah dari pihak laki-laki kenapa ia melakukan perselingkuhan selama dua tahun.Â
Sosok Ayu awalnya nampak sebagai wanita kuat dan tegar, namun menjelang akhir film, karakternya dilemahkan. Sedangkan sosok wanita perebut suami orang seperti Anya digambarkan sebagai perempuan seksi yang rapuh juga manja.
Kesan patrilianisme dan seksis terasa kental dalam film ini seperti lelaki selalu benar dan istri yang baik seharusnya segera menghasilkan momongan. Dalam film ini Broto bukannya intropeksi diri mengapa ia tidak bisa jadi suami yang setia, melainkan malah mencurigai istrinya ikut berselingkuh. Ia kemudian melakukan aksi manipulatif sehingga istrinya yang terlihat buruk di mata orang lain dan jadi orang yang patut disalahgunakan.
Peran ibu mertua di sini juga menguatkan sisi seksis ini. Bagaimana ia juga 'mengintimidasi' agar menantunya segera mengandung. Bahkan mencontohkan cara agar cepat hamil di hadapan anak dan menantunya.Â
Di bagian akhir film ia juga tak nampak keberatan asal tujuannya tercapai. Ya, bagian akhirnya ini sangat mengganggu, menguatkan kesan seksis, dan terkesan merendahkan perempuan.
Dari segi cerita dan penokohan, film ini memang dangkal. Ia terasa hanya menonjolkan sisi sensualitas dua bintang perempuan. Ada banyak adegan mesra berlebihan antara Gading dan Anya juga antara Gading dan Anya yang sebenarnya tak penting dalam film ini. Seolah-olah film ini ingin mengulang Gading yang tampil 'berani' di "Love for Sale" tapi sayangnya gagal.
Dari segi dialog dan naskah cerita, film ini menggelisahkan. Dialog dan karakter ART di sini yang diperankan Tika Panggabean rasanya keterlaluan. Hubungan gelap antara ART dan pengemudi (Imam Darto) juga sebenarnya tak penting, eh malah porsi adegannya cukup banyak. Adanya twist pun rasanya juga tak signifikan.
Naskah yang buruk juga diperparah dengan akting beberapa pemain yang terasa kaku. Meski Gading berupaya tampil baik, namun karena naskah yang buruk, maka ia tak berhasil menyelamatkan film ini.