Film Indonesia dan sensualitas rasanya pernah menjadi kawan akrab. Hal ini bisa dilihat dari poster dan judul-judul film awal tahun 90-an dan juga film horor tahun 2008-2010. Dalam film "Selesai", poster dan judulnya aman, namun menyodorkan dua aktris yang lagi hits dan seksi, Ariel Tatum dan Anya Geraldine. Apakah benar film ini hanya menjual sisi sensualitas?
Dari gimmick film sebelum launching, sebagian netizen sudah bisa menebak-nebak filmnya tak jauh-jauh dari tema cinta segitiga dan perselingkuhan. Meski promosinya diupayakan halus karena Gading Marten masih sendiri setelah menduda, namun isu kedekatan Ariel Tatum dan Gading yang tiba-tiba muncul juga foto Gading bersama Anya sebelumnya sudah dipastikan bagian dari promosi film.
Oke aku masih optimis dengan jajaran pemerannya. Gading Marten saat ini aktingnya makin berkualitas dan diakui, apalagi setelah ia tampil di "Love for Sale" dan meraih piala Citra sebagai aktor terbaik. Terkait dengan sutradaranya adalah Tompi dan penulis naskahnya Imam Darto aku juga tak masalah karena kolaborasi keduanya pernah menghasilkan film yang cukup banyak raih pujian, "Pretty Boys".
Melihat harga tiketnya di Bioskop Online sebesar Rp 40 ribu yang setara dengan tiket nonton film bioskop, aku kemudian berekspektasi tinggi. Wah pasti filmnya bagus nih karena biasanya harga tiket film di Bioskop Online rata-rata sebesar Rp 10 ribu.
Memang ada banyak kritikan dari para penonton yang telah menyaksikan film ini yang premier pada 13 Agustus 2021. Namun aku jadi makin penasaran. Oke akhirnya hari Selasa petang (17/8) aku menontonnya.
Lalu kecewa
Berikut gambaran ceritanya
Broto (Gading Marten) memiliki istri cantik bernama Ayu (Ariel Tatum). Keduanya telah menikah beberapa tahun namun belum dikaruniai buah hati.
Suatu ketika Ayu mengamuk. Ia menemukan baju dalam di mobil yang bukan miliknya. Ia menduga suaminya kembali berselingkuh dengan Anya (Anya Geraldine). Ia pun meminta cerai.
Broto meminta maaf kepada istrinya. Namun Ayu bersikukuh untuk meninggalkan rumah. Eh kemudian ibu mertuanya datang (Marini). Keduanya pun kikuk dan berpura-pura menjadi pasangan mesra. Si ibu rupanya berharap banyak agar menantunya segera hamil. Sementara itu Broto masih berhubungan dengan selingkuhannya, namun ia penasaran dengan misteri baju dalam tersebut.
Dari segi cerita, temanya sederhana, tentang perselingkuhan. Ada begitu banyak cerita film Indonesia semacam ini, seperti "Supernova", "Arisan", dan "Wedding Agreement". Namun film "Selesai" ini meski bercerita tentang perselingkuhan, pembahasannya dangkal.
Sejak awal film ini berlarut-larut membahas misteri baju dalam, bukan tentang rasa bersalah dari pihak laki-laki kenapa ia melakukan perselingkuhan selama dua tahun.Â
Sosok Ayu awalnya nampak sebagai wanita kuat dan tegar, namun menjelang akhir film, karakternya dilemahkan. Sedangkan sosok wanita perebut suami orang seperti Anya digambarkan sebagai perempuan seksi yang rapuh juga manja.
Kesan patrilianisme dan seksis terasa kental dalam film ini seperti lelaki selalu benar dan istri yang baik seharusnya segera menghasilkan momongan. Dalam film ini Broto bukannya intropeksi diri mengapa ia tidak bisa jadi suami yang setia, melainkan malah mencurigai istrinya ikut berselingkuh. Ia kemudian melakukan aksi manipulatif sehingga istrinya yang terlihat buruk di mata orang lain dan jadi orang yang patut disalahgunakan.
Peran ibu mertua di sini juga menguatkan sisi seksis ini. Bagaimana ia juga 'mengintimidasi' agar menantunya segera mengandung. Bahkan mencontohkan cara agar cepat hamil di hadapan anak dan menantunya.Â
Di bagian akhir film ia juga tak nampak keberatan asal tujuannya tercapai. Ya, bagian akhirnya ini sangat mengganggu, menguatkan kesan seksis, dan terkesan merendahkan perempuan.
Dari segi cerita dan penokohan, film ini memang dangkal. Ia terasa hanya menonjolkan sisi sensualitas dua bintang perempuan. Ada banyak adegan mesra berlebihan antara Gading dan Anya juga antara Gading dan Anya yang sebenarnya tak penting dalam film ini. Seolah-olah film ini ingin mengulang Gading yang tampil 'berani' di "Love for Sale" tapi sayangnya gagal.
Dari segi dialog dan naskah cerita, film ini menggelisahkan. Dialog dan karakter ART di sini yang diperankan Tika Panggabean rasanya keterlaluan. Hubungan gelap antara ART dan pengemudi (Imam Darto) juga sebenarnya tak penting, eh malah porsi adegannya cukup banyak. Adanya twist pun rasanya juga tak signifikan.
Naskah yang buruk juga diperparah dengan akting beberapa pemain yang terasa kaku. Meski Gading berupaya tampil baik, namun karena naskah yang buruk, maka ia tak berhasil menyelamatkan film ini.
Dari segi teknis, pewarnaan film yang dominan kuning membuatku bingung dengan orientasi waktunya. Pagi, siang, dan sore hari rasanya sama saja. Mungkin Tompi berharap film ini nampak berseni, sayangnya tidak berhasil.
Film ini lagi viral dan banyak diperbicangkan. Namun sayangnya kepopulerannya tak berbanding lurus dengan kualitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H