Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rubah Putih | Bagian Terakhir Berlari Bersama Kucing

16 Agustus 2021   19:15 Diperbarui: 16 Agustus 2021   19:24 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku merindukan Nero, sudah lama ia tak pulang | dokpri


Aku berjalan perlahan-lahan. Berharap langkahku tak terdengar. Hanya deru angin, tak ada suara binatang atau lainnya. Membuatku was-was bersuara. Ah seperti dalam film "A Quiet Place" saja.

Bagian hutan yang gelap telah kulalui. Kini hutan di depanku mendapat cahaya dari sinar bulan. Setidaknya masih ada cahaya.

Tak seperti bagian hutan yang kulalui, suara penghuni hutan sesekali kudengar. Suara hewan buas yang terdengar jauh. Juga suara para monyet yang ribut. Untung mereka jauh. Aku takut dengan mereka.

Di sudut kanan, di sebuah pohon besar yang tua aku yakin melihat Kodama. Ya, Kodama. Spirit hutan yang biasa muncul dalam film-film Ghibli. Mereka setinggi 1,5 batang wortel dan berwarna putih. Tidak menakutkan, namun menimbulkan nuansa misterius.

Ada Kodama yang misterius | Sumber: MyAnimeList.net
Ada Kodama yang misterius | Sumber: MyAnimeList.net


Beraneka ragam makhluk yang kubaca di cerita dongeng rasanya muncul. Tapi kali ini di bagian dark fantasy. Rasanya aku melihat serigala mengenakan tudung merah mengintip di balik pohon.

"Apa ini...apa itu...apa ini...apa itu..." Hei suara apa itu yang nyaring parau dan berulang-ulang. Aku penasaran namun takut untuk mengetahuinya.

Ya, aku tak perlu melakukan itu. Makhluk itu sendiri yang kemudian muncul. Menyeberang jalan secara berkelompok. Merrka berbadan bulat seperti labu Halloween dan melompat-lompat sambil terus berkata seperti "Apa ini...apa itu...".  Aku sepertinya pernah membaca cerita makhluk aneh tersebut, entah di "Ronya" atau "Narnia".

Aku kelelahan. Tanpa Nero, berjalan malam di hutan terasa menggelisahkan.

Kini di depanku adalah hutan yang kusut seperti sarang laba-laba. "Duh apa lagi. Apabila aku tidur di sini, apakah aku bisa terbangun di kasurku?!"

Aku semakin ragu ini mimpi karena begitu lama dan lelah dinginnya terasa nyata. Tapi hutan dan makhluk-makhluk yang kutemui sebagian rasanya tak nyata. Seperti dalam cerita fantasi.

- - -

Aku hampir terlelap sebelum sebuah suara membangunkanku. Seekor macan. Wahhhh aku berteriak.

Teriakanku memecah kesunyian. Bodoh. Aku ketahuan. Apa boleh buat siapa yang tak takut dengan macan?

Eh ia buat macan. Ini Nero. Ini Nero...ooh. Nero badannya membesar. Empat kali lipat dari ukurannya. Ia nampak ganteng dan gagah. Ooh Nero, aku memeluknya. Rasanya begitu hangat. Aku menangis sambil memeluknya erat.

Nero berkata padaku agar aku naik ke punggungnya. Ia menyodorkan semacam jubah ala-ala kesatria abad pertengahan dalam "Johan dan Pirlouit". Ia juga memberiku pedang.

Weiiits pedangnya berat sekali. Sambil menerimanya, aku berpikir kencang bagaimana Nero membawa jubah dan pedang tadi. Apa ia punya kantung ajaib. Kuamati Nero. Ia hanya mengenakan semacam zirah. Nero membentakku. Ayo cepat naik, ada yang akan datang.

Nero memberitahuku lewat telepati. Beberapa bagian hutan yang ganjil adalah ulahku. Ketakutanku bermanifestasi. Hutan ruwet di depan juga ulahku. Pikiranku yang sedang ruwet penyebabnya. "Hei? Aku ruwet salah satunya gara-gara mikir kamu, Nero". Aku menyentil kupingnya.

Aku mendengar sesuatu. Hewan buas. Duh aku telanjur melihatnya. Ada kawanan serigala mengejar. Kami nampaknya tak lolos. Mereka begitu kencang.

Nero memarahiku. Ia memintaku fokus agat bisa ke luar dari hutan. Aku membayangkan kami berdua terbang, menerebos hutan.

Aku membuka mata. Eh kok tetap hutan ruwet. Di belakang, moncong serigala rasanya menyundulku. Wah ini nggak benar. Nero ayo lebih kencang lagi larinya.

Aku berteriak ketakutan. Kami melompat. Berhasil!
- - -

Entah kenapa perjalanan ini tak kunjung berakhir. Lolos dari hutan ruwet dan kawanan serigala, kami berada di sebuah bagian pegunungan berwarna abu-abu.

Ah seperti dalam kisah
Ah seperti dalam kisah "Green Night" saja ada raksasa | Sumber: IMDb/A24


Kejutannya tak hanya itu. Ada yang menggigit dan menempel di jubahku. Seekor rubah putih. Ia nampaknya jinak.

Kupindahkan ia di depan. Kurapatkan jubahku. Setidaknya sedikit hangat. Pegunungan abu-abu dan gersang ini anginnya semakin kencang dan dingin. Kata Nero, tujuan akhir kami adalah kastil. Sudah tak begitu jauh. Aku menghembuskan nafas. Aku sudah lelah. Jikalau ini mimpi, apakah aku tidur mbangkong ya.

Si anak rubah ribut. Ia melihat sesuatu. Di depan nampaknya berkabut. Hei nampaknya ada raksasa di bagian kiri dekat jurang. Bukan hanya satu tapi dua. Wujudnya samar-samar karena berkabut. Di ujung jalan aku juga melihat kastil berukuran besar.

Bagaimana kami bisa melalui raksasa tersebut? Mereka sudah tahu kehadiran kami. Wujudnya nampaknya seperti Gollum. Hiih.

Rubah putih berbicara. Seperti Nero, suaranya hadir di benakku. Rubah putih akan mengalihkan perhatian para raksasa. Ia pernah melakukannya.

Aku memandangnya, kami berdua bertatapan dan mengangguk. Nero juga setuju.

Rubah putih kuturunkan perlahan-lahan. Ia langsung berlari kencang ke sana ke sini menarik perhatian kedua raksasa.

Aku dan Nero melesat menuju lastil. Tapi kemudian tiba-tiba muncul tangan raksasa mencoba menggapaiku. Aku ketakutan dan merundukkan badan. Jubahku tapi berhasil ditarik. Aku berjuang melepaskan jubah tersebut dan jubah itu langsung terengut. Huuuh nyaris.

Kastil makin dekat. Eh muncul raksasa lagi. Nero mengisyaratkan aku untuk melempar pedang ke arahnya Duh pedangnya berat sekali tak seperti bayanganku. Aku memegangnya saja setengah mati. Kulempat ia sekuat tenaga. Aku jadi takut badanku sendiri yang terlempar.

Akhirnya pedang itu terlempar meski aku tak yakin mampu mengenai badan raksasa tersebut.

Kami memasuki kastil. Jembatan ditarik dan kemudian ditutup.

Nero di dalam kastil mengecil seperti ukurannya semula. Kami kembali berpelukan. Ah hangatnya. Selama beberapa saat kami hanya diam dan berpelukan.

Di dalam kastil ada lorong-lorong dan berbagai ruangan yang diterangi obor. Aku tak lagi heran bila tak ada penghuninya.

Nero kembali mengajakku berlari. Ayo. Kami berlari  memasuki ruangan demi ruangan. Ada ballroom, tempat kesatria berkumpul, tempat raja berkumpul bersama para menterinya. Semuanya kosong.

Lalu ada ruang baca dan lemari buku. Nero melompat menujuk ke sebuah buku. Ketika tersentuh, ada pintu terbuka di baliknya. Kami berdua memasukinya. Ada pintu lagi di sana. Kubuka pintu itu perlahan-lahan.

Nero masih memelukku. Ia naik ke pundakku. Lalu kurasakan pelukannya melonggar.

Ketika pintu kubuka, yang terbentang adalah ruang depanku. Kami sudah berada di rumah.

Pintu kastil itu telah lenyap. Di luar adalah halaman rumah yang hanya diterangi lampu teras.

Kucing-kucingku berlarian menyambutku. Ada Kidut, Pang, Pong, dan Opal. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, tak ada Nero. Aku susuri halaman. Tak ada sama sekali sosok Nero.

Teng teng teng teng. Bunyi satpam memukul tiang listrik. Empat kali, jadinya sudah pukul 4 pagi.

Aku masih diam dan meringkuk. Tak ada Nero di sisiku.

Lalu aku menangis dan menangis. Perjalanan tadi seperti mimpi bersama Nero. Aku tak tahu apakah itu nyata atau khayalanku belaka.

Perjalanan itu membuatku teringat bagaimana aku membaca buku dan menonton film fantasi ditemani Nero. Ia kadang-kadang melompat ke atas meja teve, menghalangi pandanganku.

Aku merindukan Nero, sudah lama ia tak pulang | dokpri
Aku merindukan Nero, sudah lama ia tak pulang | dokpri


Ia juga suka iseng menggangguku. Tidur di atas buku yang sedang kubaca.Lalu kuangkat tubuh Nero dengan sayang. Suatu saat kita akan dijemput pesawat alien dan kita akan menjelajah luar angkasa bersama, Nero.

Bulu Nero yang rontok masih tertinggal di kausku. Aku masih mengingat bulunya yang hangat dan aroma tubuhnya yang khas.

Aku menangis. Tangisanku semakin keras. Kucing-kucing memandangku cemas.

Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun