Lagu "Indonesia Pusaka" mengalun lembut sekaligus terasa megah. Iringan musiknya bukan musik orkestra pada umumnya, melainkan orkestra dari berbagai alat musik etnik nusantara. Ada suara seruling, kendang, dan alat musik yang suaranya seperti sape -- alat musik khas Dayak, dan  masih banyak lagi. Suara Trie Utami kemudian hadir di bait berikutnya. Indah.
Ada berbagai tembang yang ditampilkan dalam pertunjukan "Sound of Borobudur" yang diadakan di Omah Mbudur, April silam. Warganet masih bisa mendengarkannya via YouTube di akun milik Sound of Borobudur atau milik Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Lagu lainnya yang membuatku takjub adalah "Padma Swargantara" karya Trie Utami dan Dewa Budjana. Gunakan headset, lalu pijamkan mata. Kalian akan rasai sebuah pengalaman dan sensasi tersendiri ketika mendengarkan musik ini. Musiknya terasa kaya dan agung. Ketika kudengarkan setelah Subuh, jelang matahari terbit dan ketika usai melakukan sholat Tarawih, nuansanya terasa lebih spiritual. Sekaligus magis.
We are the sound of Shambara
vibes from Nusantara
We're the flowers of Shambara,
Padma Swargantara
Shambara adalah sebutan dari Candi Borobudur. Padma adalah bunga. Sedangkan Swargantara adalah nama kuno dari Nusantara di mana disebutkan pada masa ini bumi Indonesia wilayah mandiri dan bercahaya. Bila kumaknai secara lugas, tembang ini bercerita tentang Borobudur yang dulu disebut sebagai bunga dari bumi Indonesia sebagai tempat pusat budaya dan pusat ilmu pengetahuan.
Lagu yang indah dan mudah melekat di benak. Tak heran bila disebut sebagai anthem of Borobudur.
Ulangilah lagi tembang ini dan dengarkan lagi secara seksama, akan terdengar suara dari berbagai alat musik. Seruling bermain-main dengan kendang, dan berbagai alat musik dawai lainnya. Harmonis. Baru kemudian aku tahu nama-nama alat musik berdawai tersebut itu unik. Namanya Gasona, Gasola, dan Solawa. Panjang alat musiknya berbeda-beda, demikian juga dengan lebar tabung resonansi dan jumlah dawainya.
Instrumen dawai itu bukan sembarangan. Tiga alat musik berdawai tersebut lahir dari relief. Mereka adalah peralatan musik yang pernah dilukiskan dan dan diceritakan lewat relief Borobudur, relief Karmavibhangga atau relief yang bercerita tentang hukum karma.
Judulnya "Lan e Tuyang". Lagu ini merupakan lagu daerah Dayak Kenyah. Musiknya riang dan rancak, bikin ingin menari dan tersenyum. "Lan e Tuyang" bercerita tentang kebahagiaan yang ternyata sederhana.
Lan e tuyang
nyain ekem sao
Lan sungai
Sao sungai sungai limon kanan
Lan e .... Lan e tuyang Â
Nomor lainnya yang tak kalah menarik adalah "Jataka". Judul ini mengingatkan pada kisah dalam panel relief Candi Borobudur tentang budi pekerti. Lagunya juga menawan dan ritmis.
Masih banyak lagi lagu yang diciptakan Dewa Budjana, Trie Utami, Jalu, dan Sa'at. Total ada 12 lagu Mereka juga meminta bantuan dari musisi senior, Purwatjaraka untuk menyusun notasi not balok untuk menjadi standar dan pedoman  para musisi memainkan ensemble.
Borobudur, Ensiklopedia dan Arsip Alat Musik Dunia
Dari website Sound of Borobudur, aku mendapatkan banyak wawasan. Berdasarkan web tersebut, bangsa Indonesia rupanya telah memiliki peradaban dengan sepuluh ketrampilan budaya, jauh sebelum Hindu menyebar. Ketrampilan budaya tersebut di antaraya wayang, gamelan, batik,  pengelolaan logam, teknologi pelayaran, astronomi, dan sawah. Dan di antaranya didokumentasikan lewat relief di dinding Borobudur. Â
Ini membuktikan Borobudur bukan hanya memberikan warisan berupa bangunan fisik, melainkan juga budaya dari leluhur yang masih memberikan pengaruh ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini.
Dari panel dalam dinding relief tersebut, hal tersebut bisa dipelajari dan diwujudnyatakan.
Aku jadi teringat tentang perahu bercadik. Minggu lalu aku membaca tentang relief perahu bercadik di Borobudur yang diwujudkan ke dunia nyata pada tahun 2003 dalam buku berjudul "Jejak Perahu Bercadik di Candi Borobudur". Dipimpin oleh Philip Beale, mantan anggota Angkatan Laut Inggris, dengan nahkoda Kapten I Gusti Putu Ngurah, 27 orang melakukan Ekspedisi Perahu Borobudur menuju Afrika.
Dari pengalaman Ekspedisi Perahu Borobudur itu bisa ditarik pelajaran bahwa relief Borobudur bukan sekadar dekorasi dan cerita. Relief tersebut juga merupakan catatan sejarah dan situasi yang terjadi pada masa tersebut, pada abad ke-8. Relief dalam Candi Borobudur sebagian di antaranya bisa diibaratkan seperti perpustakaan, rak-rak arsip, dan ensiklopedia. Betapa jeniusnya perancang dan pekerjanya. Reliefnya rapi dan detail, serta bisa menggambarkan situasi pada masa tersebut dan menyampaikan pesan-pesan yang bernilai luhur.
Candi Borobudur diperkirakan dibangun tahun 760 -- 830M pada masa Wangsa Syailendra. Candi ini terdiri dari 2.672 panel relief dengan 1.460 di antaranya mengandung cerita. Dalam relief Karmavibhangga, selain menggambarkan hukum sebab akibat, juga ditampilkan kehidupan sehari-hari masyarakat saat itu. Di situlah terdapat panel yang menggambarkan para musisi yang memainkan instrumen alat musik. Selain itu peralatan musik juga terdapat dalam relief Gandawyuha, Awadana Jataka, Lalita Vistara. Awadana
Penelitian lebih lanjut kemudian menemukan bahwa alat musik yang tergambar dalam relief Candi Borobudur tersebut masih eksis dan dimainkan hingga saat ini. Relief tersebut menggambarkan lebih dari 200 alat musik yang tersebar di  34 provinsi Indonesia dan kurang lebih 40 negara dari Benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Ada yang dipertunjukkan di lingkungan bangsawan, ada yang ditampilkan terbuka ke masyarakat biasa.
Aku jadi ingat kalimat yang dilontarkan salah satu seniman di acara Sound of Borobudur tersebut, Bintang Indrianto. Dari relief di tembok Borobudur tersebut, peralatan musik jadi nyata. Ya, mereka memerhatikan detail dari tiap-tiap gambar alat musik di relief lalu dicocokkan dengan semua alat musik yang ada di Indonesia dan mancanegara. Â
Alat musik etnik Indonesia sendiri telah banyak mewarnai dunia musik modern. Claude Debussy, pianis, dan komposer terkenal awal abad 20`67y, beberapa nomornya terpengaruh dengan gamelan Jawa, seperti "Estampes -- Pagodes". Demikian juga dengan Deep Forest kolaborasi dengan Anggun lewat "Deep Blue Sea".
Sound of Borobudur ini telah melalui proses panjang. Bermula dari tahun 2016, Trie Utami, Dewa Budjana, dan para seniman yang tergabung dalam Jaringan Kampung Nusantara tertarik mempelajari relief peralatan musik yang terekam di Candi Borobudur. Mereka dibantu Ali Gardy, pembuat alat musik dari Situbondo, untuk mewujudkan alat musik tersebut dan kemudian peralatan musiknya dimainkan dalam ajang Borobudur Cultural Fest 2016.
Proses mewujudkan peralatan musik tersebut tidak mudah. Mereka mencoba meneliti deskripsi alat musik, ukurannya dan bentuknya. Juga turut diperhatikan gestur memainkan alat musik tersebut. Sedangkan untuk memodelkan suara dari alat musik tersebut sulit dilakukan, hanya bisa secara interpretasi. Menurut Dewa Budjana hal tersebut multitafsir karena suara jaman dulu tak ada yang tahu.
Sound of Borobudur dan Ke Depannya
Dari Seminar "Sound of Borobudur 7-9 April lalu, Borobudur diyakini sebagai pusat kebudayaan dunia pada eranya. Â Menurut Drs Haryanto, antropolog pada acara tersebut ia menduga ada komunitas dunia di sekitar Borobudur pada masa tersebut seperti sekolah tinggi yang mempelajari agama dan budaya termasuk seni musik. Serta Indonesia yang terhubung dengan negara lain.
Dugaan ini menarik karena bisa jadi Nusantara pada masa itu begitu kaya musik. Membayangkan Borobudur pusat musik dunia pada masa itu, dan masa kini sebagai wisata unggulan Wonderful Indonesia.
Musik sendiri seperti kata Trie Utami merupakan spirit dan nilai kebangsaan, sehingga musik dari relief ini bisa jadi duta bangsa untuk menunjukkan betapa tingginya peradaban Indonesia pada masa lampau. Saya setuju dengan menggemakan Sound of Borobudur ini juga akan membuat warga Indonesia termasuk generasi muda bangga terhadap kekayaan luhurnya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H