Aku jadi teringat tentang perahu bercadik. Minggu lalu aku membaca tentang relief perahu bercadik di Borobudur yang diwujudkan ke dunia nyata pada tahun 2003 dalam buku berjudul "Jejak Perahu Bercadik di Candi Borobudur". Dipimpin oleh Philip Beale, mantan anggota Angkatan Laut Inggris, dengan nahkoda Kapten I Gusti Putu Ngurah, 27 orang melakukan Ekspedisi Perahu Borobudur menuju Afrika.
Dari pengalaman Ekspedisi Perahu Borobudur itu bisa ditarik pelajaran bahwa relief Borobudur bukan sekadar dekorasi dan cerita. Relief tersebut juga merupakan catatan sejarah dan situasi yang terjadi pada masa tersebut, pada abad ke-8. Relief dalam Candi Borobudur sebagian di antaranya bisa diibaratkan seperti perpustakaan, rak-rak arsip, dan ensiklopedia. Betapa jeniusnya perancang dan pekerjanya. Reliefnya rapi dan detail, serta bisa menggambarkan situasi pada masa tersebut dan menyampaikan pesan-pesan yang bernilai luhur.
Candi Borobudur diperkirakan dibangun tahun 760 -- 830M pada masa Wangsa Syailendra. Candi ini terdiri dari 2.672 panel relief dengan 1.460 di antaranya mengandung cerita. Dalam relief Karmavibhangga, selain menggambarkan hukum sebab akibat, juga ditampilkan kehidupan sehari-hari masyarakat saat itu. Di situlah terdapat panel yang menggambarkan para musisi yang memainkan instrumen alat musik. Selain itu peralatan musik juga terdapat dalam relief Gandawyuha, Awadana Jataka, Lalita Vistara. Awadana
Penelitian lebih lanjut kemudian menemukan bahwa alat musik yang tergambar dalam relief Candi Borobudur tersebut masih eksis dan dimainkan hingga saat ini. Relief tersebut menggambarkan lebih dari 200 alat musik yang tersebar di  34 provinsi Indonesia dan kurang lebih 40 negara dari Benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Ada yang dipertunjukkan di lingkungan bangsawan, ada yang ditampilkan terbuka ke masyarakat biasa.
Aku jadi ingat kalimat yang dilontarkan salah satu seniman di acara Sound of Borobudur tersebut, Bintang Indrianto. Dari relief di tembok Borobudur tersebut, peralatan musik jadi nyata. Ya, mereka memerhatikan detail dari tiap-tiap gambar alat musik di relief lalu dicocokkan dengan semua alat musik yang ada di Indonesia dan mancanegara. Â
Alat musik etnik Indonesia sendiri telah banyak mewarnai dunia musik modern. Claude Debussy, pianis, dan komposer terkenal awal abad 20`67y, beberapa nomornya terpengaruh dengan gamelan Jawa, seperti "Estampes -- Pagodes". Demikian juga dengan Deep Forest kolaborasi dengan Anggun lewat "Deep Blue Sea".
Sound of Borobudur ini telah melalui proses panjang. Bermula dari tahun 2016, Trie Utami, Dewa Budjana, dan para seniman yang tergabung dalam Jaringan Kampung Nusantara tertarik mempelajari relief peralatan musik yang terekam di Candi Borobudur. Mereka dibantu Ali Gardy, pembuat alat musik dari Situbondo, untuk mewujudkan alat musik tersebut dan kemudian peralatan musiknya dimainkan dalam ajang Borobudur Cultural Fest 2016.