Dalam film ini yang kuapresiasi adalah nuansa kelokalan dan tradisinya yang kental. Selain dialek, kesenian yang menjadi kekayaan budaya Banyumas juga ditonjolkan. Tarian tersebut adalah Tari Lengger.
Aku memberikan apresiasi tinggi buat Della Dartyan, pemeran Sukma. Ia menari dengan gemulai, seperti penari profesional. Padahal ia "hanya" belajar menari sekitar dua bulan. Meski hanya dua bulan (sudah termasuk workshop dan proses syuting), ia belajar menari dengan intens ke maestro Tari Lengger.
Musik skoring yang sebagian dihiasi dengan calung dan musik etnik ini juga berhasil memberikan kontribusi dalam membangun cerita. Musik gamelan dimainkan untuk mengiringi tarian Sukma dan kawan-kawannya. Di adegan lain musik ini berhasil membangun suasana yang misterius dan mencekam.
Palet warnanya terasa nyaman di mata dan sesuai dengan tone film yang misterius. Yang paling epik, visual yang diciptakan oleh kamera yang lincah mengikuti tarian puncak Sukma.
Dari segi akting, performa Della Dartyan dan Refal Hady patut dipuji. Della yang namanya menjulang sejak berperan di "Love for Sale", memang pernah sebelumnya berperan di film horor. Namun, ia belum pernah menjajal akting sebagai penari.
Sementara Refal Hady ("Galih dan Ratna", "Antologi Rasa", "The Wedding Agreement") selama ini lebih banyak bermain di ranah drama romantis dan drama religi. Perannya sebagai dokter Jati yang memiliki kepribadian yang kompleks, merupakan sebuah tantangan baginya. Ia benar-benar keluar dari zona nyamannya.
Pemeran "Tari Lengger Maut" lainnya seperti Alyssa Abidin dan Hetty Reksoprodjo juga tampil apik. Keduanya berperan masing-masing sebagai Welas dan Mbok Girah.
Film thriller ini berhasil membuat penonton tertarik pada adegan-adegan awal hingga pertengahan. Namun kemudian, agak terseret-seret di paruh keduanya. Puncaknya di bagian penutupnya, ada kesan agak terburu-buru untuk mengakhiri cerita.