Saat berbuka puasa biasanya kami agak terburu-buru menyantap makanan karena antri wudhunya lumayan panjang untuk perempuan. Selesai tarawih, aku pun pulang ke rumah bersama teman-teman dengan rasa lelah.
Pada masa SMP, pesantren kilat juga diadakan. Ada beberapa momen pada masa SMP yang berkesan. Ada beberapa teman yang bosan dan malas mengikuti sampai tawarih selesai  diadakan. Akhirnya mereka kabur lewat jendela dan naik tembok yang lokasinya tak jauh dari kamar mayat sebuah rumah sakit.
SMP ku memang posisinya bersebelahan dengan rumah sakit. Ruang-ruang kelas yang ada di belakang, tak jauh dengan lokasi kamar mayat. Alhasil bila kami bersekolah, kami terus diingatkan agar fokus dan berdoa, jangan melamun, agar tak kerasukan. Dulu pernah ada cerita siswa yang masuk kelas siang mengalami kerasukan. Mendengar cerita itu, saat masuk kelas siang, aku selalu pulang cepat-cepat.
Lokasi tembok berbatasan dengan kamar mayat itu tempat favorit anak-anak kabur dan bolos dari sekolah. Untungnya tak ada cerita seram menyertai aksi kabur mereka, kecuali keesokan harinya mereka dipanggil ke ruang guru dan menerima hukuman.
Cerita yang kuingat sampai saat ini saat pesantren kilat masa SMP yakni temanku ada yang buang angin cukup keras. Sebagian jamaah perempuan tak kuat menahan tertawa dan terpingkal-pingkal. Alhasil hanya dua shaf terdepan yang berupaya kukuh bertahan menyelesaikan tarawih, Aku sendiri susah payah menahan tawa.
Masa SMA entahlah momen pesantren kilat ini kurang berkesan. Seingatku hanya diadakan dari pagi sampai sore. Tak ada tarawih bersama.
Pesantren kilat terakhir kali kurasai saat tahun pertama berkuliah. Ada dua kali pesantren kilat yang kuikuti. Yang berkesan adalah ketika aku ikut serta yang di Madura.
Kamu mengikuti beragam aktivitas selama tiga hari mengikuti pesantren kilat yang diadakan di sebuah masjid yang lumayan besar. Semua aktivitas termasuk mandi dan tidur juga di sana.
Dari pagi hingga malam kami mendapat beragam asupan materi. Pada waktu bebas kami mandi, membantu bersih-bersih masjid, membantu menyiapkan takjil, dan kadang-kadang ikut berdiri di tepi jalan mengumpulkan sumbangan masjid.
Sholat tarawihnya di masjid tersebut menganut 20 rakaat. Pada hari pertama aku bisa mengikutinya. Gerakannya begitu cepat. Bahkan lebih pas disebut kilat. Pada hari kedua aku menyerah pada rakaat kedelapan.
Rasanya seru dan senang mengikuti pesantren kilat di Madura. Pengalaman yang berkesan. Ketika kapal feri kami sudah meninggalkan Madura, aku merasa pesantren kilat ini yang terakhir kurasakan, dan ternyata benar.