Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tantangan Perempuan Bekerja di Lingkungan yang Didominasi Pria

14 April 2021   00:19 Diperbarui: 14 April 2021   09:39 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan bisa jadi apa saja, termasuk sebagai pekerja TI (sumber gambar: pixabay/geralt)

"Mbaknya kenapa pulangnya malam?" Pengemudi angkutan umum itu menanyaiku dengan penuh selidik. Kulihat jam di hape, sudah hampir pukul 23.00 WIB. Ia lalu melontarkan kalimat-kalimat nasihat yang seolah-olah menyudutkanku dan memberiku label seolah-olah aku bukan perempuan baik-baik.

Aku memaksa diri turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kata-kata pengemudi itu bikin aku emosi dan aku perlu menenangkan diri. Memang ada kalanya orang-orang begitu kejam memberikan stigma tertentu tanpa mencoba lebih mengenali.

Menjadi kuli tinta perempuan pada masa itu di tempat selain Jakarta, ada kalanya terpaksa menerima pandangan miring oleh sebagian kalangan yang tak kenal dan tak memahami profesi kita. 

Aku paham mereka tak tahu seluk-beluk pekerjaan ini atau wawasan mereka kurang terbuka lebar sehingga hanya bisa memberikan cap negatif ke perempuan yang bekerja hingga malam hari.

Padahal tak sedikit pekerja yang mendapat shif malam hari seperti perawat atau dokter jaga. Para SPG di pusat perbelanjaan dan pekerja salon juga umumnya bubaran kerja di atas pukul 21.00.

Menjadi perempuan yang bekerja di lapangan mencari berita juga tak lepas dari gangguan pria. Ada yang sekadar bersiul atau ingin berkenalan, mengirimkan pesan-pesan aneh, hingga bertindak kurang ajar yang mengarah ke pelecehan. 

Menerima perlakuan tersebut terutama jika sudah mengarah ke pelecehan, biasanya aku langsung bersikap keras. Jangan karena perempuan jadi terkesan lemah dan tak berdaya.

Tantangan lainnya bekerja di tempat yang didominasi pria adalah ada kalanya disepelekan. Kaum hawa dinilai lemah, tak mampu bekerja di bawah tekanan, mudah menangis jika dimarahi dan sebagainya. Tapi ternyata aku dan rekan-rekanku sesama perempuan bisa membuktikan bahwa stigma itu tidak benar.

Ketika kemudian bekerja sesuai latarku di lingkungan TI, aku pindah ke Jakarta. Lagi-lagi lingkunganku bekerja didominasi pria. Tapi aku sudah bebas komentar negatif tentang perempuan yang pulang malam karena di Jakarta banyak pekerja yang terpaksa lembur atau terhambat kemacetan. Hanya kesan menyepelekan kemampuan perempuan kadang-kadang masih terlihat. Tapi adakalanya bukan dari lingkungan kerja, melainkan kadang-kadang dari klien.

Ada kalanya klien kurang yakin dengan kemampuan perempuan sebagai konsultan atau pengembang di bidang TI. Ada yang menanyakan detail latar belakang dan keahlian kita, seolah-olah menganggap perempuan hanya cocok di bagian administrasi bukan menganalisis atau merancang sebuah sistem. 

Apalagi jika mereka tahu project manager (PM)-nya perempuan, wah bisa makin banyak keraguan dan pertanyaan dilontarkan, dibandingkan ketika PM-nya pria.

Tapi aku paham dengan situasi tersebut karena di masyarakat sendiri masih ada kesan perempuan cocoknya bekerja di bidang administrasi dan keuangan, para pria yang mengurusi hal-hal teknis dan bekerja di lapangan. Padahal pria wanita sama-sama punya kesempatan bekerja di bidang-bidang tersebut.

Sisi plusnya bekerja di lingkungan dominasi pria, kita tak perlu terpaku pada penampilan. Asal rapi dan bersih. Lebih penting kemampuan daripada penampilan.

Hingga saat ini aku masih berkutat di bidang TI sebagai konsultan TI. Profesiku relatif belum umum di masyarakat awam, sehingga ada kalanya aku menyebutnya sebagai peneliti daripada mereka mengiraku bagian pemasaran.

Ya ada mirip-miripnya antara tugas konsultan dan tugas peneliti, hanya konsultan lebih berfokus ke proyek yang durasi pengerjaannya terbatas dan harus memberikan solusi yang sifatnya praktis, bukan sekadar teoretis.

Contoh tugas konsultan TI adalah menyusun cetak biru dan peta jalan TI sebuah institusi, atau melakukan tinjauan sebuah sistem, apakah perlu diperbaiki atau diganti, dan seperti apakah alternatif-alternatif penggantinya dan strategi perubahan sistemnya. Apakah perlu belanja hardware atau bisa memanfaatkan hardware yang eksis, atau cukup sewa cloud, dan sebagainya.

Wah sepertinya lain kali aku akan menulis tentang profesi konsultan TI ini dan keahlian apa saja yang perlu dikuasai. Siapa tahu ada yang tertarik berkarier di profesi ini.

Sejak sebulan silam aku memutuskan rehat sejenak dari proyek-proyek dan berfokus ke penelitianku hingga beberapa bulan mendatang. Apa rencanaku ke depan? Entahlah, mungkin tetap terlibat di proyek dan penelitian TI, atau mungkin menulis buku seputar TI.

Perempuan bekerja di lingkungan dominan pria ada sisi plus minusnya. Fokuslah ke sisi plusnya dan teruslah mengasah ilmu agar tetap kompetitif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun