"Mbaknya kenapa pulangnya malam?" Pengemudi angkutan umum itu menanyaiku dengan penuh selidik. Kulihat jam di hape, sudah hampir pukul 23.00 WIB. Ia lalu melontarkan kalimat-kalimat nasihat yang seolah-olah menyudutkanku dan memberiku label seolah-olah aku bukan perempuan baik-baik.
Aku memaksa diri turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kata-kata pengemudi itu bikin aku emosi dan aku perlu menenangkan diri. Memang ada kalanya orang-orang begitu kejam memberikan stigma tertentu tanpa mencoba lebih mengenali.
Menjadi kuli tinta perempuan pada masa itu di tempat selain Jakarta, ada kalanya terpaksa menerima pandangan miring oleh sebagian kalangan yang tak kenal dan tak memahami profesi kita.Â
Aku paham mereka tak tahu seluk-beluk pekerjaan ini atau wawasan mereka kurang terbuka lebar sehingga hanya bisa memberikan cap negatif ke perempuan yang bekerja hingga malam hari.
Padahal tak sedikit pekerja yang mendapat shif malam hari seperti perawat atau dokter jaga. Para SPG di pusat perbelanjaan dan pekerja salon juga umumnya bubaran kerja di atas pukul 21.00.
Menjadi perempuan yang bekerja di lapangan mencari berita juga tak lepas dari gangguan pria. Ada yang sekadar bersiul atau ingin berkenalan, mengirimkan pesan-pesan aneh, hingga bertindak kurang ajar yang mengarah ke pelecehan.Â
Menerima perlakuan tersebut terutama jika sudah mengarah ke pelecehan, biasanya aku langsung bersikap keras. Jangan karena perempuan jadi terkesan lemah dan tak berdaya.
Tantangan lainnya bekerja di tempat yang didominasi pria adalah ada kalanya disepelekan. Kaum hawa dinilai lemah, tak mampu bekerja di bawah tekanan, mudah menangis jika dimarahi dan sebagainya. Tapi ternyata aku dan rekan-rekanku sesama perempuan bisa membuktikan bahwa stigma itu tidak benar.
Ketika kemudian bekerja sesuai latarku di lingkungan TI, aku pindah ke Jakarta. Lagi-lagi lingkunganku bekerja didominasi pria. Tapi aku sudah bebas komentar negatif tentang perempuan yang pulang malam karena di Jakarta banyak pekerja yang terpaksa lembur atau terhambat kemacetan. Hanya kesan menyepelekan kemampuan perempuan kadang-kadang masih terlihat. Tapi adakalanya bukan dari lingkungan kerja, melainkan kadang-kadang dari klien.
Ada kalanya klien kurang yakin dengan kemampuan perempuan sebagai konsultan atau pengembang di bidang TI. Ada yang menanyakan detail latar belakang dan keahlian kita, seolah-olah menganggap perempuan hanya cocok di bagian administrasi bukan menganalisis atau merancang sebuah sistem.Â
Apalagi jika mereka tahu project manager (PM)-nya perempuan, wah bisa makin banyak keraguan dan pertanyaan dilontarkan, dibandingkan ketika PM-nya pria.