Ketrampilan komunikasi kami rata-rata cukup buruk. Bahkan kami lebih suka berkirim pesan lewat aplikasi daripada berbicara langsung,meski kami berada dalam satu tempat. Tapi memang tidak semuanya seperti itu.
Oleh karenanya aku kemudian bertanya-tanya. Apa aku sanggup menjadi wartawan jika aku sendiri saja sudah mulai 'anti sosial'?
Dan ketika wisuda hendak diselenggarakan, rupanya ada lowongan sebagai jurnalis. Persyaratannya juga tak susah, S1 segala jurusan dan IPK di atas tiga. Dengan penuh semangat aku pun melamar. Eh rupanya teman satu jurusan juga ada yang ikutan. Ia rupanya juga sama sepertiku, ingin mencoba sesuatu yang baru.
"Kamu masih eneg dengan koding kan, Pus?! Ia menebak dan aku tertawa mengiyakan.
Aku memang membuat 'perjanjian' dengan orang tua. Aku menyebutnya cari penyegaran setelah 4,5 tahun belajar pemrograman. Nantinya aku pasti bakal kembali ke dunia TI, janjiku ke orang tua.
Jadi Wartawan Pemula Tak Mudah
Ujian masuk jadi wartawan ternyata susah. Ada tes tulis berupa pertanyaan wawasan. Komplet. Ada wawasan olah raga, umum, pendidikan, ekonomi, hingga politik.Â
Waduh, semuanya esai, nggak ada yang pilihan ganda. Nggak bisa ngawur nih. Di bagian politik, ada pertanyaan tentang peta politik, daerah ini dominan partai mana dan sebagainya.
Aku keluar lokasi ujian dengan lemas.
Ujian berikutnya adalah wawancara panel dengan menggunakan bahasa Inggris. Pertanyaannya juga seputar wawasan. Hanya karena harus menggunakan bahasa Inggris, aku kadang-kadang juga bingung mencari padanan istilahnya.
Aku lulus mungkin sebagian besar karena faktor keberuntungan. Selanjutnya kami menjalani pelatihan intensif selama satu minggu, dari pagi hingga petang.Â