Aroma tanah yang tersentuh hujan itu menguar. Hujan rintik rapat nyaris tak terlihat rupanya sedang beraktivitas. Aku menarik nafas panjang. Ah aku suka aroma tanah basah, ia membuatku merasa tenang.
Tak terasa hampir satu jam waktuku terbuang. Aku keasyikan membaca kisah seram. Ia membuatku terlena dan seolah-olah masuk dalam cerita. Untungnya aku membacanya saat siang.
Kisah misteri membuatku was-was. Namun entah kenapa ia membuatku penasaran. Aku tak sabar menuntaskannya. Dan bakal kesal ketika ceritanya belum tamat.
Kuperhatikan sekelilingku. Ruang tunggu rumah sakit ini masih ramai keluarga pasien yang menunggu. Ada yang makan siang, tak sedikit yang pulas tertidur. Aku yang tersedot oleh pusaran kisah horor tak terganggu oleh suasana di sekitarku.
Tahukah kalian ada kisah-kisah tentang gerimis saat siang hari. Hujan ketika sinar matahari masih menyinari. Kisah tentang anak-anak yang diculik. Penculiknya makhluk halus yang menyamar sebagai nenek baik hati.
Horor wewe gombel dulu membuatku bergidik. Aku was-was dan sembunyi dalam ruangan bila hujan panas terjadi.
Aku lalu memerhatikan hujan yang masih turun dalam wujud gerimis. Ia nampaknya bakal awet mengisi suasana sepanjang siang ini.
Angin mulai berayun. Hawa pun sejuk. Seekor kucing lalu melaju, takut air juga waktu makan siang hampir berlalu. Tak lama aku asyik melamun.
Di depanku hujan masih mengguyur. Namun matahari juga enggan berlalu.
Pandanganku makin samar. Oh sepertinya aku dininabobokan. Mataku perlahan-lahan mulai terpejam. Duh enaknya jika aku tidur sejenak.
Aku membuka mata. Alas tidurku telah berubah. Aku hanya berbaring di tanah basah. Sekelilingku pepohonan rapat.
Aku di mana....
Mungkin ini hanyalah bunga tidur. Aku tak perlu tidur. Aku hanya perlu menunggu kesadaranku timbul. Dan aku bisa lepas dari mimpi buruk.
Sekelilingku sepi. Hanya deru angin. Anehnya aku bisa berpikir dalam mimpi. Ada sebuah firasat tak enak, ia memberitahuku agar aku tak pergi.
Aku pun mencoba tenang. Aku merasa aneh dengan diriku, ini pasti mimpi, jika nyata pasti aku sudah ketakutan.
Langit makin gelap. Sungguh aku mulai tak nyaman. Apa yang akan kulakukan. Tasku pun menghilang.
Apa ini sekadar mimpi. Jika memang mimpi segeralah buat aku segera bangun kembali.
Aku memejamkan mata sambil berdoa. Ini pasti mimpi karena aku masih bisa tenang di situasi tak enak. Aku sendiri di antara pepohonan rapat dan langit yang sudah gelap.
Untungnya aku kembali terlelap. Pasti ini mimpi, tapi kenapa aku bermimpi juga sedang terpejam.
Aku membuka mata dengan was-was. Apakah aku akan berada di alam gelap atau kembali ke duniaku semula.
Mataku kubuka perlahan-lahan. Aku tidur beralas tikar. Di atasku ada atap. Masih ada gerimis dan aroma hujan. Langit juga masih terang.
Aku kembali ke duniaku semula.
Aku melihat beberapa keluarga pasien memandangku dengan heran. Aku jadi tak enak, apakah aku tidur dengan mulut terbuka atau mendengkur sembarangan.
Rupanya tangan, kaki dan bajuku yang jadi perhatian. Kondisinya belepotan tanah.
Bukan hanya mereka, aku sendiri juga heran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H