Berkaitan dengan sampah dedaunan, di lingkungan tempat tinggalku memang sempat digalakkan aksi cinta tanaman. Tiap warga selain diminta memiliki biopori di halamannya, juga dihimbau untuk menanam minimal lima tanaman di tiap rumah. Memang upaya ini cukup sukses membuat lingkungan kami tetap hijau dan menahan laju limpasan permukaan (runoff), tapi sampah dedaunan tetap menjadi pekerjaan rumah.
Para warga pun kemudian diminta untuk menjaga pepohonannya agar daun-daunnya tidak mengotori jalanan dengan rajin memangkasnya. Sampah daun pun dianjurkan dipisahkan ketika membuang sampah. Namun sayangnya petugas sampah kemudian juga mencampurnya lagi karena bak sampahnya yang tak besar.
Masih banyak pekerjaan rumah berkaitan dengan sampah daun ini. Belum ada kebiasaan di kalangan warga untuk membuat pupuk kompos. Padahal pupuk kompos juga bagus untuk tanaman.
Aku sendiri punya komposter mungil. Ukurannya hanya sekitar 5-7 kilogram. Selain dedaunan, aku juga menaruh sisa kulit bahan makanan, pecahan kulit telur di sana. Biasanya sekitar seminggu sekali aku memanen hasilnya yang berupa pupuk cair. Sedangkan air bekas mencuci beras, mencuci ikan dan daging, serta bekas merebus sayur (yang sudah dingin) kusiramkan ke tanaman. Ini juga lebih bermanfaat dibandingkan membuangnya ke selokan.
Awal tahun 2020 ini tempat tinggalku pun dibangun sumur resapan. Tiap blok rata-rata ada satu sumur resapan. Tujuannya untuk mencegah banjir, menekan runoff, dan sebagai media konservasi air tanah.
Memang sih setelah ada sumur resapan ini tak ada lagi keluhan dari warga tinggal di bawah tentang 'serbuan' air dari warga yang tinggal lebih di atas. Kami jadi tenang setiap kali hujan deras tiba.
Beberapa kali aku menjumpai air selokan tak hanya berbuih, namun juga keruh dan berminyak, sepertinya ada warga yang membuang minyak jelantah atau minyak bekas penggorengan ke saluran air pembuangan atau langsung ke selokan.