Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Petualanganku ke Dunia Kuliner Berawal dari Ibu

6 Desember 2020   23:51 Diperbarui: 7 Desember 2020   00:00 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu dulu mengajariku cara meliwet (dokpri)

Hemmm aromanya sungguh sedap. Aroma manis gula merah dan wangi pandan menguar dari dapur. Aku pun mendekati sumber aroma, penasaran dengan apa yang sedang dibuat oleh ibu.

Di dapur, ibu sibuk mengaduk-aduk sesuatu dalam panci lebar dan besar dengan pengaduk kayu. Sesuatu dalam wadah itu masih terus mengeluarkan uap.

"Bikin apa, Ma?" Aku bertanya sambil hidungku terus mereguk aroma manis sedap ini.

Ibu menjawab ia sedang membuat kue wajik. Kue wajik ini terbuat dari beras ketan dan gula merah. Setelah matang dan tercampur rata, baru kemudian ditaruh di loyang dan didinginkan. Setelahnya barulah dipotong-potong.

Aku menunggui dan asyik menonton ibu menuangkan adonan. Ia kemudian mengijinkanku mencicipi adonan yang tersisa di panci besar. Rasanya sungguh manis dan nikmat.

Ibu dan nenek dulu suka membuat sendiri kue-kue untuk acara selamatan. Biasanya bude dan tante juga ikut membantu apabila acaranya melibatkan keluarga besar.

Oh aku suka sekali menemani ibu memasak kue-kue ini. Ibu dan nenek dengan sabar juga menunjukkanku cara membuatnya.

Biasanya untuk selamatan, kue-kuenya perpaduan jajan tradisional dan kue-kue modern. Ibu menunjukkan kepadaku cara membuat kue-kue seperti wajik. Untuk wajik, ada dua jenis yang biasa dibuat ibu dan nenek. Ada wajik cokelat dari gula merah dan wajik berwarna kehijauan beraroma pandan dengan pewarna dari daun pandan suji.

Kue-kue lainnya di antaranya ada kue sawut dari singkong yang diparut dicampur gula merah, kue nagasari yang isiannya ada pisang, kelepon dengan isian gula merah, dan kue cucur dari tepung beras dan gula merah.

Sedangkan untuk kue modern, ibu suka sekali membuat bolu kukus, cake karamel alias kue sarang semut, dan aneka puding. Aku suka sekali membantunya. Rasanya menyenangkan, seperti bermain masak-masakan, tapi hasilnya benar-benar bisa dimakan.

Waktu kecil aku lebih suka membuat kue,tapi ketika besar malah lebih suka masakan (dokpri)
Waktu kecil aku lebih suka membuat kue,tapi ketika besar malah lebih suka masakan (dokpri)

Ibu Mengajarkanku Mengenal Kuliner Nusantara
Apabila ditanya, apa sekolah dari ibu yang kukenang, tentunya adalah memasak dan belajar mengenal dunia kuliner. Sejak kecil ibu memberiku pengalaman dan wawasan betapa menakjubkannya seni memasak. Ia menjadi guru dan kepala sekolah memasak di rumah.

Masakan itu punya kekuatan ajaib. Ia bisa membuat orang bahagia, senang, marah, atau malah jatuh cinta. Masakan itulah yang bisa membuat kalian kangen dengan seseorang atau kampung halaman.

Ibu dulu suka sekali memasak soto. Favoritnya soto ayam (dokpri)
Ibu dulu suka sekali memasak soto. Favoritnya soto ayam (dokpri)

Ibu mengenalkanku dengan dunia kuliner sejak aku masih belia. Aku ingat ketika pulang sekolah sejak duduk di bangku taman kanak-kanak, ibu mengajakku membantunya memasak. Ia mengajariku dari cara yang mudah seperti memetik sayur, mengupas telur rebus, dan memecah telur dengan cantik.

Ketika aku sudah masuk sekolah dasar, baru ibu memperkenalkanku dengan pisau dan alat bantu lainnya. Aku lupa saat itu kelas berapa. Ibu dengan hati-hati menunjukkanku cara mengiris tempe, merajang sayuran, dan mengupas wortel.

Ia juga mengajariku cara memarut kelapa dan menguleg bumbu. Oh aku tak suka sekali memarut dan menguleg bumbu. Tapi aku suka memukul-mukul daging sehingga lebih empuk dan gepeng untuk dimasak ala empal atau gepuk.

Alhasil sepulang sekolah saat aku masih TK dan SD, aku punya kegiatan seru bersama ibu, menyiapkan masakan untuk makan siang kami. Hingga kelas dua SD, aku pulang sebelum pukul 12 siang, sehingga masih sempat membantu ibu memasak. Sekitar pukul 12 lewat kakak-kakakku pun datang, kami kemudian makan siang bersama. Tapi jika aku keburu lapar, ibu membolehkanku makan lebih dulu.

Karena sering membantu ibu memasak, pengetahuanku tentang kuliner cukup luas sejak masih belia. Aku tahu tentang rawon, soto, pecel, telur bumbu Bali, aneka sambal, dan beragam jenis kue tradisional sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Aku sudah bisa membedakan makanan-makanan tersebut, meski belum bisa memasaknya.

Beruntung ibu dan ayah berasal dari suku berbeda. Ibu murni Jawa Timur dan ayah berdarah Sunda. Dari Ibu, aku mengenal kuliner Jawa dan makanan modern. Sedangkan dari daerah ayah, aku mengenal karedog, aneka jenis lalapan, kue koci, dan masih banyak lagi.

Dulu ibu juga sering mengajakku berbelanja ke pasar tradisional. Menurutku pasar adalah tempat yang unik dan meriah. Memang tempatnya tak sebersih dan serapi di mal, tapi pasar lebih dari itu. Ia menarik.

Biasanya ibu mengajakku ke bagian daging sapi. Si penjual akan bertanya mau daging rawon dengan tetelan atau daging yang tanpa gajih alias lemak. Ibu suka memasak rawon dan semur, sehingga ia memilih tetelan. Harganya juga relatif lebih terjangkau. Aku suka sekali melihat si penjual membungkus dagingnya dengan daun jati.

Ibu membuatku penasaran dengan asal-usul suatu masakan (dokpri)
Ibu membuatku penasaran dengan asal-usul suatu masakan (dokpri)

Lalu ibu akan menuju bakul bumbu. Aku tak suka dengan tempatnya, gelap, dan terasa pengap. Tapi kata ibu, penjual itu langganannya. Ia membeli keluwek dan aneka bumbu lainnya. Aku suka penasaran dengan keluwek, karena ia berwarna abu-abu dan keras. Cangkangnya harus dipecahkan dulu agar ibu mendapatkan pasta hitamnya. Kadang-kadang ada keluwek yang jelek dan pahit. Dari penjual tersebut, ibu sering mendapat keluwek yang berkualitas.

Ibu tak membeli ayam dan ikan karena ia lebih suka membelinya langsung di mlijo yang tiap hari berkeliling ke gang kami. Mlijo ini membawa dagangannya dengan wadah terbuat dari bambu yang besar dan lebar. Ibu punya langganan dua mlijo. Sekitar tahun 2000-an mlijo ini mulai menghilang digantikan tukang sayur dengan gerobaknya.

Setelah membeli ini itu, barulah ibu singgah ke penjual bubur campur. Inilah bagian pasar yang paling kusukai. Di situ ada seorang mbah dan di depannya ada wadah-wadah bening penuh dengan isian yang menggiurkan. Ada ketan hitam, grendul alias biji salak, bubur mutiara, dan bubur sum-sum. Grendulnya itu paling enak, aku tak pernah lagi menemukan grendul seperti itu. Ia berupa kotak-kotak kecil kecokelatan dengan tingkat kemanisan yang pas. Bubur sum-sum dipadu dengan grendul adalah sebuah kenikmatan.

Sekolah memasak dari ibu belum selesai, aku terus berlatih. Ibu juga membuatku memiliki hobi baru yaitu mengkliping resep masakan. Mataku langsung ijo jika melihat ada resep masakan di koran atau buku memasak yang harganya tak mahal di rak buku Gramedia.

Dari majalah Femina, koran Jawa Pos,dan buku resep Gramedia, aku mulai tahu nasi goreng itu beragam (dokpri)
Dari majalah Femina, koran Jawa Pos,dan buku resep Gramedia, aku mulai tahu nasi goreng itu beragam (dokpri)

Berkat ibu aku jadi gandrung dengan dunia kuliner. Ibu sekolah pertamaku di bidang kuliner. Hingga saat ini aku masih penasaran bagaimana dulu nenek moyang bisa tahu cara memasak rawon, bagaimana ia tahu bumbu ini bisa membuat masakan ini itu jadi sedap. Kuliner itu dunia yang luas dan menarik.

Masakan itu punya kemampuan menakjubkan. Cobalah menyantap masakan favoritmu pada masa kecil dan rasai aliran emosi mengalir dalam dirimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun