Ibu tak membeli ayam dan ikan karena ia lebih suka membelinya langsung di mlijo yang tiap hari berkeliling ke gang kami. Mlijo ini membawa dagangannya dengan wadah terbuat dari bambu yang besar dan lebar. Ibu punya langganan dua mlijo. Sekitar tahun 2000-an mlijo ini mulai menghilang digantikan tukang sayur dengan gerobaknya.
Setelah membeli ini itu, barulah ibu singgah ke penjual bubur campur. Inilah bagian pasar yang paling kusukai. Di situ ada seorang mbah dan di depannya ada wadah-wadah bening penuh dengan isian yang menggiurkan. Ada ketan hitam, grendul alias biji salak, bubur mutiara, dan bubur sum-sum. Grendulnya itu paling enak, aku tak pernah lagi menemukan grendul seperti itu. Ia berupa kotak-kotak kecil kecokelatan dengan tingkat kemanisan yang pas. Bubur sum-sum dipadu dengan grendul adalah sebuah kenikmatan.
Sekolah memasak dari ibu belum selesai, aku terus berlatih. Ibu juga membuatku memiliki hobi baru yaitu mengkliping resep masakan. Mataku langsung ijo jika melihat ada resep masakan di koran atau buku memasak yang harganya tak mahal di rak buku Gramedia.
Berkat ibu aku jadi gandrung dengan dunia kuliner. Ibu sekolah pertamaku di bidang kuliner. Hingga saat ini aku masih penasaran bagaimana dulu nenek moyang bisa tahu cara memasak rawon, bagaimana ia tahu bumbu ini bisa membuat masakan ini itu jadi sedap. Kuliner itu dunia yang luas dan menarik.
Masakan itu punya kemampuan menakjubkan. Cobalah menyantap masakan favoritmu pada masa kecil dan rasai aliran emosi mengalir dalam dirimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H