Ibu Mengajarkanku Mengenal Kuliner Nusantara
Apabila ditanya, apa sekolah dari ibu yang kukenang, tentunya adalah memasak dan belajar mengenal dunia kuliner. Sejak kecil ibu memberiku pengalaman dan wawasan betapa menakjubkannya seni memasak. Ia menjadi guru dan kepala sekolah memasak di rumah.
Masakan itu punya kekuatan ajaib. Ia bisa membuat orang bahagia, senang, marah, atau malah jatuh cinta. Masakan itulah yang bisa membuat kalian kangen dengan seseorang atau kampung halaman.
Ibu mengenalkanku dengan dunia kuliner sejak aku masih belia. Aku ingat ketika pulang sekolah sejak duduk di bangku taman kanak-kanak, ibu mengajakku membantunya memasak. Ia mengajariku dari cara yang mudah seperti memetik sayur, mengupas telur rebus, dan memecah telur dengan cantik.
Ketika aku sudah masuk sekolah dasar, baru ibu memperkenalkanku dengan pisau dan alat bantu lainnya. Aku lupa saat itu kelas berapa. Ibu dengan hati-hati menunjukkanku cara mengiris tempe, merajang sayuran, dan mengupas wortel.
Ia juga mengajariku cara memarut kelapa dan menguleg bumbu. Oh aku tak suka sekali memarut dan menguleg bumbu. Tapi aku suka memukul-mukul daging sehingga lebih empuk dan gepeng untuk dimasak ala empal atau gepuk.
Alhasil sepulang sekolah saat aku masih TK dan SD, aku punya kegiatan seru bersama ibu, menyiapkan masakan untuk makan siang kami. Hingga kelas dua SD, aku pulang sebelum pukul 12 siang, sehingga masih sempat membantu ibu memasak. Sekitar pukul 12 lewat kakak-kakakku pun datang, kami kemudian makan siang bersama. Tapi jika aku keburu lapar, ibu membolehkanku makan lebih dulu.
Karena sering membantu ibu memasak, pengetahuanku tentang kuliner cukup luas sejak masih belia. Aku tahu tentang rawon, soto, pecel, telur bumbu Bali, aneka sambal, dan beragam jenis kue tradisional sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Aku sudah bisa membedakan makanan-makanan tersebut, meski belum bisa memasaknya.
Beruntung ibu dan ayah berasal dari suku berbeda. Ibu murni Jawa Timur dan ayah berdarah Sunda. Dari Ibu, aku mengenal kuliner Jawa dan makanan modern. Sedangkan dari daerah ayah, aku mengenal karedog, aneka jenis lalapan, kue koci, dan masih banyak lagi.
Dulu ibu juga sering mengajakku berbelanja ke pasar tradisional. Menurutku pasar adalah tempat yang unik dan meriah. Memang tempatnya tak sebersih dan serapi di mal, tapi pasar lebih dari itu. Ia menarik.
Biasanya ibu mengajakku ke bagian daging sapi. Si penjual akan bertanya mau daging rawon dengan tetelan atau daging yang tanpa gajih alias lemak. Ibu suka memasak rawon dan semur, sehingga ia memilih tetelan. Harganya juga relatif lebih terjangkau. Aku suka sekali melihat si penjual membungkus dagingnya dengan daun jati.
Lalu ibu akan menuju bakul bumbu. Aku tak suka dengan tempatnya, gelap, dan terasa pengap. Tapi kata ibu, penjual itu langganannya. Ia membeli keluwek dan aneka bumbu lainnya. Aku suka penasaran dengan keluwek, karena ia berwarna abu-abu dan keras. Cangkangnya harus dipecahkan dulu agar ibu mendapatkan pasta hitamnya. Kadang-kadang ada keluwek yang jelek dan pahit. Dari penjual tersebut, ibu sering mendapat keluwek yang berkualitas.