Verida di sini juga merasa begitu tersiksa karena sejak ia bangun hingga beranjak tidur, ia harus makan. Tidak semua orang punya "bakat" gemuk, bukan?
Michela Occhipinti, sutradara film ini cerdik membungkus filmnya. Verida di luar pemikirannya yang modern dan sikapnya santai ketika bersama teman-temanya, sebenarnya adalah gadis yang penurut di rumah. Ia sayang dan penuh perhatian ke adik, ibu, ayah, dan neneknya.Â
Ia sulit untuk memberontak karena ia sendiri menganggap tak ada masa depan dan harapan baginya, selain jalan yang dibentangkan oleh kedua orang tuanya.
Ya, dalam film ini hubungan Verida dan orang-orang sekelilingnya menarik untuk diselami. Rasanya sepertinya sulit untuk berani beropini di lingkungan yang misoginis, meski dunia di luar sudah jauh berkembang dan definisi cantik juga bervariasi.
Dalam film ini para pelakunya bukan aktor dan aktris profesional, melainkan orang-orang biasa. Verida, pemeran tokoh utama, nampak natural di depan kamera. Ia pernah mengalami masa-masa seperti itu sehingga luwes dan mampu menyampaikan pesannya.
Visual dalam film ini indah. Jalan-jalan yang gersang berpasir kemudian dikontraskan dengan pantai. Tradisi yang ketat kemudian dibenturkan oleh Verida yang sudah tersentuh oleh internet dan media sosial. Kedua hal yang nampak kontras. Wadah tempat minum susu berwarna hitam, berkebalikan dengan warna susu yang putih.
Satu lagi yang dibenturkan adalah definisi cantik. Cantik itu relatif. Definisi cantik di satu tempat bisa jadi berbeda di tempat lain. Di Mauritania lebih mengunggulkan perempuan yang gemuk, di tempat lain adalah perempuan langsing yang dianggap cantik.
Skor:7.8/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H