Adat-istiadat setiap tempat berbeda-beda, termasuk dalam hal menyiapkan pesta pernikahan. Kisah adat-istiadat unik yang harus dilakoni calon pengantin perempuan di Mauritania, Afrika Barat Laut, dikisahkan dalam film berjudul "Flesh Out" yang tayang di Europe on Screen 2020 lalu.
Dalam film ini toloh utamanya adalah gadis  20 tahunan bernama Verida (Verida Beitta Ahmed Deiche). Suatu ketika ia dikejutkan kabar berita bahwa kedua orang tuanya telah menemukan calon suami untuknya. Ia akan menikah sekitar tiga bulan kemudian.
Kabar itu makin alot ketika Verida diminta untuk makan dan minum susu dalam porsi besar, lalu berat badannya ditimbang.
Ia terheran-heran ketika mengetahui ia harus menggemukkan diri sebelum ia siap menjadi calon pengantin. Rupanya ada semacam tradisi di sana yang masih dijalani perempuan baik di pedesaan maupun yang tinggal di perkotaan, walau sudah masuk era modern.Â
Pengantin perempuan harus gemuk, karena ada persepsi di sana, pengantin perempuan yang tubuhnya gemuk bulat itu cantik.
Kawan-kawan Verida terbagi dua. Ada yang menganggap hal itu lumrah karena dulu ia juga merasai hal yang sama. Tapi teman-temannya yang berpikiran modern dan ingin ke luar dari negara tersebut menganggap budaya itu konyol dan merendahkan perempuan.
Verida merasa dilema. Apalagi ketika ia merasa jatuh cinta dengan pria lainnya. Kenaikan berat badannya juga relatif lambat.
Sebuah Tradisi yang Unik
Mauritania adalah sebuah negara yang pernah dijajah Prancis. Ia adalah negara yang penduduknya mayoritas muslim. Meski demikian, budayanya relatif lebih longgar bagi perempuan sama seperti negara tetangganya di Aljazair dan Maroko.Â
Perempuan di film masih terlihat santai berjalan-jalan dengan sesamanya dan nongkrong di kafe gaul.
Oleh karenanya budaya gavage yang disebut salah satu teman Verida sebenarnya kurang cocok untuk perempuan modern. Pasalnya gavage untuk membuat berat badan perempuan itu naik bisa membuat perempuan membenci tubuhnya sendiri dan tertekan.Â
Verida di sini juga merasa begitu tersiksa karena sejak ia bangun hingga beranjak tidur, ia harus makan. Tidak semua orang punya "bakat" gemuk, bukan?
Michela Occhipinti, sutradara film ini cerdik membungkus filmnya. Verida di luar pemikirannya yang modern dan sikapnya santai ketika bersama teman-temanya, sebenarnya adalah gadis yang penurut di rumah. Ia sayang dan penuh perhatian ke adik, ibu, ayah, dan neneknya.Â
Ia sulit untuk memberontak karena ia sendiri menganggap tak ada masa depan dan harapan baginya, selain jalan yang dibentangkan oleh kedua orang tuanya.
Ya, dalam film ini hubungan Verida dan orang-orang sekelilingnya menarik untuk diselami. Rasanya sepertinya sulit untuk berani beropini di lingkungan yang misoginis, meski dunia di luar sudah jauh berkembang dan definisi cantik juga bervariasi.
Dalam film ini para pelakunya bukan aktor dan aktris profesional, melainkan orang-orang biasa. Verida, pemeran tokoh utama, nampak natural di depan kamera. Ia pernah mengalami masa-masa seperti itu sehingga luwes dan mampu menyampaikan pesannya.
Visual dalam film ini indah. Jalan-jalan yang gersang berpasir kemudian dikontraskan dengan pantai. Tradisi yang ketat kemudian dibenturkan oleh Verida yang sudah tersentuh oleh internet dan media sosial. Kedua hal yang nampak kontras. Wadah tempat minum susu berwarna hitam, berkebalikan dengan warna susu yang putih.
Satu lagi yang dibenturkan adalah definisi cantik. Cantik itu relatif. Definisi cantik di satu tempat bisa jadi berbeda di tempat lain. Di Mauritania lebih mengunggulkan perempuan yang gemuk, di tempat lain adalah perempuan langsing yang dianggap cantik.
Skor:7.8/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H