Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suatu Ketika di Dolly

2 Desember 2020   20:16 Diperbarui: 2 Desember 2020   20:30 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ooh jadi ini yang namanya Dolly itu..." Aku memerhatikan sekelilingku. Pemandangan itu baru kali pertama kulihat. Aku merasa was-was sekaligus penasaran. Pengalaman sekian tahun lalu masih kukenang hingga sekarang.

Gang Dolly pada pagi, jelang siang, dan malam hari nampak berbeda. Pada tahun-tahun tersebut Dolly masih beroperasi normal. Belum ada rencana untuk direlokasi ataupun ditutup.

Kunjunganku pertama dalam rangka meliput kampung yang tak jauh dari Dolly yang masuk dalam nominasi kampung terbersih dan terasri tahun sebelumnya. Aku dan kawanku berdecak salut memerhatikan lingkungan RT yang nampak rindang dan asri. Ketika kami hendak kembali ke daerah lainnya, kawanku berbisik ke padaku juga area ini tak jauh dari Dolly. Eh yakin? Ia mengangguk.

Saat itu masih pagi, sekitar pukul 10 pagi. Jalanan masih terasa lengang. Jadi kawanku tak bisa memberikan bukti apabila kami sedang tak jauh dari Dolly. Aku yang sudah beberapa tahun tinggal dan berkuliah di Surabaya juga tak pernah tahu lokasinya. Hanya aku ingat pamanku menyebut nama daerah yang terlarang untuk kukunjungi. Ya nama jalannya ini, aku ingat.

Ketika aku bercerita ke salah satu kawan tentang lokasi kami meliput, ia kemudian memberitahu redaktur foto kami. Ia dijuluki fotografer khusus Dolly, bahkan punya buku koleksi foto tentang Dolly. Foto-fotonya humanis dan memotret sisi lain dari penghuni Dolly. Aku terkagum-kagum dengan upayanya mendekati kaum PSK dan mucikari sehingga mendapatkan foto-foto yang natural.

"Mau ditemani ke sana?" Aku menggeleng. Posku saat itu lebih ke seni budaya, pekerjaan meliput kampung-kampung yang ikut lomba kebersihan hanyalah pekerjaan sampingan. Jika aku ke Dolly, kuatirnya pekerjaan utamaku tak tertangani. Lain kali Pak, aku menolak tawarannya dengan halus.

Kesempatan itu tiba ketika aku kemudian ditugaskan di pos kesehatan. Ada undangan dari komite yang menangani AIDS. Dan agenda kami adalah menjelajahi rumah sakit yang menangani ODHA dan ke tempat-tempat prostitusi.

Sungguh dulu aku masih memiliki stigma tentang ODHA. Kemudian aku melihat sendiri bahwa sebagian dari mereka juga nampak biasa saja. Bedanya mereka perlu rutin mengonsumsi obat. Ketika aku diminta bersalaman dengan salah seorang dari mereka, aku masih merasa cemas.

Lalu kami menuju Dolly siang itu. Inilah pengalamanku langsung masuk ke ruang akuarium. Di sana ada sekitar enam perempuan yang duduk berjajar di sebuah sofa panjang dengan posisi di depannya adalah jendela transparan sehingga konsumen bisa langsung menunjuk untuk memilihnya. Aku melihat jam. Masih jam 2-an, kok sudah buka ya?

Lalu kami ditemui mantan mucikari di sana yang kemudian menjadi semacam mami penjaga di sana. Ia menjadi semacam penganyom di sana bagi para perempuan yang bekerja di sana. Ia jugalah yang menjadi perpanjangan tangan dari komite tersebut, membantu ikut sosialisasi menjaga kesehatan organ intim dan menggunakan kondom untuk meminimalkan risiko penularan penyakit kelamin dan HIV.

Ia mengenalkan kami kepada tiga pekerja di sana. Ada satu yang cantik dan menjadi primadona di tempat tersebut. Ia mengenakan kaus dan celana jeans, nampak kasual. Ada pula yang biasa-biasa saja, namun berdandan seksi dengan baju yang agak minim dan dandanan agak menor.

Lalu mulailah kami mendengar ceritanya hingga sampai terdampar di lembah hitam tersebut. Ia tergiur dengan iming-iming gaji tinggi. Daripada bekerja menjaga toko lebih menghasilkan menjadi pekerja seperti ini, ujarnya. Namun orang tuanya di desa tidak tahu, mereka tahunya ia masih bekerja di toko.

Aku yang masih sangat belia dan polos waktu itu terkejut dengan penjelasannya yang gamblang. Bagaimana anak-anak usia mahasiswa juga ada kalanya ke situ (busyet), bagaimana ia bisa melayani hingga sembilan tamu dalam sehari, dan juga bagaimana ia kadang-kadang sulit meminta tamunya mengenakan kondom.

Dari pihak penjaga sini mewajibkan tamu mengenakan kondom. Tapi ketika sudah di dalam kamar, ya sulit untuk dipaksa, kisahnya.

Ya, ada upaya dari yayasan yang dikelola mami untuk menjaga kesehatan organ intim para penghuninya. Mereka juga dilatih berbagai kerajinan, siapa tahu mereka suatu saat tergerak untuk segera pensiun dari pekerjaan hitam ini. Cerita ini pernah kutulis sebelumnya.

Ya kami kemudian berbincang lebih akrab. Dan yang mengejutkan kami, ada narasumber si mba yang cantik, memeluk kami. Kami berfoto bersama dengan mereka, seperti para perempuan yang bertemu kawan-kawannya. Aku merasa mereka seperti perempuan biasa, mungkin mereka hanya tersesat ke jalan tersebut dan sulit untuk lepas.

Malamnya kami ke sana lagi. Dan kini Dolly menunjukkan wajah aslinya. Begitu meriah dengan lampu yang terang. Tiap rumah menunjukkan jendela akuariumnya dengan perempuan-perempuan cantik yang 'dipajang' di sana. Inilah lokalisasi yang disebut terbesar se-Asia Tenggara. Julukan yang mengenaskan.

Yang membuatku antara sedih dan geli adalah dandanan petugas yang mencarikan konsumen. Mereka berdandan rapi dengan celana kain dan kemeja rapi plus dasi. Mereka menghentikan mobil kami dan menyodorkan semacam album katalog. Ada nama, foto, dan deskripsinya.

Itu kenanganku tentang Dolly yang kemudian ditutup oleh wali kota Surabaya. Sebuah pengalaman yang kukenang. Tapi setelah Dolly kemudian aku menjelajahi tempat-tempat 'hitam' lainnya di Surabaya dan Makassar, juga melakukan wawancara dengan ODHA Makassar. Sejak itu rasanya aku tak lagi melihat dunia hitam putih. Ada banyak abu-abu.

Bagaimana dengan penyebaran HIV saat ini? Saat ini memang banyak lokalisasi yang ditutup tapi tak memberantas sama sekali bisnis kelam seperti ini. Malah saat ini mereka beralih ke sistem online yang makin sulit diendus dan ditelusuri penyebaran penyakit kelamin dan HIV-nya. Ya ada minus plusnya ada tidaknya lokalisasi.

Sosialisasi tentang bahayanya pergaulan bebas di kalangan remaja tetap perlu gencar dilakukan. Mungkin yang perlu dibenahi adalah persepsi sosialisasi kondom yang saat ini dianggap mendukung pergaulan bebas, kemudian juga mental dari perempuan yang memutuskan bekerja di bidang ini, agar tidak mudah tergiur dengan kekayaan instan. Dan yang terakhir adalah mental dan karakter para pria agar bisa mengendalikan dirinya, satu pasangan sudah cukup. Jika tak ada permintaan, pastinya usaha semacam ini juga akan sirna sendirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun