Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suatu Ketika di Dolly

2 Desember 2020   20:16 Diperbarui: 2 Desember 2020   20:30 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu mulailah kami mendengar ceritanya hingga sampai terdampar di lembah hitam tersebut. Ia tergiur dengan iming-iming gaji tinggi. Daripada bekerja menjaga toko lebih menghasilkan menjadi pekerja seperti ini, ujarnya. Namun orang tuanya di desa tidak tahu, mereka tahunya ia masih bekerja di toko.

Aku yang masih sangat belia dan polos waktu itu terkejut dengan penjelasannya yang gamblang. Bagaimana anak-anak usia mahasiswa juga ada kalanya ke situ (busyet), bagaimana ia bisa melayani hingga sembilan tamu dalam sehari, dan juga bagaimana ia kadang-kadang sulit meminta tamunya mengenakan kondom.

Dari pihak penjaga sini mewajibkan tamu mengenakan kondom. Tapi ketika sudah di dalam kamar, ya sulit untuk dipaksa, kisahnya.

Ya, ada upaya dari yayasan yang dikelola mami untuk menjaga kesehatan organ intim para penghuninya. Mereka juga dilatih berbagai kerajinan, siapa tahu mereka suatu saat tergerak untuk segera pensiun dari pekerjaan hitam ini. Cerita ini pernah kutulis sebelumnya.

Ya kami kemudian berbincang lebih akrab. Dan yang mengejutkan kami, ada narasumber si mba yang cantik, memeluk kami. Kami berfoto bersama dengan mereka, seperti para perempuan yang bertemu kawan-kawannya. Aku merasa mereka seperti perempuan biasa, mungkin mereka hanya tersesat ke jalan tersebut dan sulit untuk lepas.

Malamnya kami ke sana lagi. Dan kini Dolly menunjukkan wajah aslinya. Begitu meriah dengan lampu yang terang. Tiap rumah menunjukkan jendela akuariumnya dengan perempuan-perempuan cantik yang 'dipajang' di sana. Inilah lokalisasi yang disebut terbesar se-Asia Tenggara. Julukan yang mengenaskan.

Yang membuatku antara sedih dan geli adalah dandanan petugas yang mencarikan konsumen. Mereka berdandan rapi dengan celana kain dan kemeja rapi plus dasi. Mereka menghentikan mobil kami dan menyodorkan semacam album katalog. Ada nama, foto, dan deskripsinya.

Itu kenanganku tentang Dolly yang kemudian ditutup oleh wali kota Surabaya. Sebuah pengalaman yang kukenang. Tapi setelah Dolly kemudian aku menjelajahi tempat-tempat 'hitam' lainnya di Surabaya dan Makassar, juga melakukan wawancara dengan ODHA Makassar. Sejak itu rasanya aku tak lagi melihat dunia hitam putih. Ada banyak abu-abu.

Bagaimana dengan penyebaran HIV saat ini? Saat ini memang banyak lokalisasi yang ditutup tapi tak memberantas sama sekali bisnis kelam seperti ini. Malah saat ini mereka beralih ke sistem online yang makin sulit diendus dan ditelusuri penyebaran penyakit kelamin dan HIV-nya. Ya ada minus plusnya ada tidaknya lokalisasi.

Sosialisasi tentang bahayanya pergaulan bebas di kalangan remaja tetap perlu gencar dilakukan. Mungkin yang perlu dibenahi adalah persepsi sosialisasi kondom yang saat ini dianggap mendukung pergaulan bebas, kemudian juga mental dari perempuan yang memutuskan bekerja di bidang ini, agar tidak mudah tergiur dengan kekayaan instan. Dan yang terakhir adalah mental dan karakter para pria agar bisa mengendalikan dirinya, satu pasangan sudah cukup. Jika tak ada permintaan, pastinya usaha semacam ini juga akan sirna sendirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun