Wangi bumbu yang ditumis di dalam wajan telah menguar. Aroma duo bawang dan cabe merah. Aku menikmatinya. Aroma sarapan akhir pekan.
Nasi putih itu kemudian telah berada di wajan dan siap berkolaborasi dengan bumbu berwarna kemerahan. Nenek dengan lincah mengaduk-aduk nasi sehingga mendapatkan jatah bumbu di setiap butirannya. Setelah tercampur dan matang, nenek siap membuat telur dadar seloyang.
Aku membantu nenek mengiris-iris telur dadar. Kini meja makan telah terisi oleh wadah berisikan nasi goreng yang baru matang, irisan telur dadar, dan kerupuk, itulah menu sarapan akhir pekan.
Aku, kakak, paman dan bibi kemudian berkumpul, mengerumuni meja makan. Nenek memasak nasi goreng sangat banyak. Cukup untuk semua penghuni rumah.
Nasi goreng yang gurih dan hangat berpadu dengan telur dadar. Makin meriah dengan suara gigi yang mengunyah kerupuk. Kres...kres...meriah. Ada kopi hitam dan teh manis kental untuk temannya. Juga ada air putih. Tinggal pilih.
Suasana inilah yang kurindukan saat aku jauh dari rumah. Ketika aku tidak pulang pada akhir pekan, aku merindui suasana seperti ini. Berkumpul saat sarapan dan menyantap masakan nenek.
Nasi goreng nenek nampak sederhana. Bumbunya hanya bawang putih, bawang merah, garam, dan cabe merah besar. Kadang-kadang nenek menambahkan terasi di dalamnya. Ada kalanya nenek menambahkan tomat. Katanya tomat bikin bumbunya lebih banyak dan memberikan kontribusi aroma yang asam segar.
Terserah nenek, kataku. Semua nasi goreng buatan nenek atau mama semuanya enak.
"Buat saja nasi goreng di sana jika kangen rumah". Aku hanya diam tak meresponnya.
Ketika aku mulai ngekos, aku termasuk yang malas membuat nasi goreng. Ya pasalnya nasi jarang sisa. Ketika ada nasi sisa kemarin dan aku coba membuatnya tak pernah seenak nasi goreng di rumah.
Sungguh apa yang membuatnya berbeda. Kadang-kadang bumbunya cemplang, terasa ada yang kurang. Suatu ketika keasinan. Ada kalanya nasinya gempal dan suatu kali juga pernah kegosongan.
Ah ternyata membuat nasi goreng sederhana itu tidak sesederhana yang terlihat.
Aku menguatkan tekad untuk belajar nasi goreng dari nenek.
Kurekam baik-baik jumlah bawang putih dan bawang merah yang digunakan. Kuperhatikan cabe merah dan jumlahnya, lalu sejumput terasi. Aku agak ragu menggunakan tomat. Tapi kemudian aku memotongnya dan kuulek.
Oh proses mengulek dengan bumbu sebanyak ini membuatku gentar. Ini porsi untuk sekitar 10 piring, tentu beda dengan yang biasa kusajikan untuk diriku sendiri. Bagaimana nenek melakukannya?
Aku menahan mata yang pedih karena bawang merah. Energiku rasanya tercurah ketika menggerus bumbunya. Tidak begitu halus. Masih kalah dengan nenek.
Nenek mencolek sedikit bumbu, menambahi sedikit gula dan lalu membantuku membuatnya lebih halus. Aku jadi malu.
Kini bumbu itu kutumis. Wanginya. Tapi aroma tajam cabe dari dekat juga terasa menusuk.
Nenek membantu menuang nasi ke wajan. Ia memintaku segera mengaduknya dengan bumbu agar merata. Ayo segera diratakan. Lagi-lagi tak mudah. Takut gosong, nenek mengecilkan api dan mengambil alih sodetan. Oh menyiapkan nasi goreng dalam jumlah besar perlu tenaga besar juga.
Aku menyantapnya. Enak. Seperti yang biasa dibuat nenek. Tak hanya soal komposisi bumbu dan tekstur nasi, juga perlu keahlian dan kelincahan tangan untuk membuat nasi goreng yang sedap.
Oh aku tak menganggap nasi goreng nenek sebagai nasi goreng sederhana lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H