Dalam film "The Flowers of War" sekelompok siswi dan kelompok pekerja prostitusi (PSK) di Nanking, China bersembunyi di sebuah gereja karena was-was akan serdadu Jepang. Pada tahun 1937 Jepang telah bergabung dengan perang dunia kedua.
Seorang komandan memerintahkan para siswi untuk bersiap-siap pergi. Menyadari kemungkinan buruk mereka akan menjadi budak nafsu serdadu, para siswi tersebut hendak melakukan bunuh diri. Tapi kemudian para PSK itu bersedia menggantikan mereka. Mereka memotong rambut dan menata penampilannya sehingga mirip para siswi. Sementara para siswi berhasil kabur dengan bantuan perias mayat, nasib para PSK itu tidak ketahuan.
Cerita dalam film yang dibintangi Christian Bale sebagai perias mayat ini bikin sedih. Di sini si perias mayat menyamar sebagai pastor untuk melindungi para perempuan yang bersembunyi karena pastor yang asli sudah meninggal.
Di sini ada wujud solidaritas sebagai sesama perempuan. Karena merasa kasihan dengan masa depan para siswi, para PSK itu mengorbankan diri mereka. Mereka tahu nasib mereka akan buruk, bahkan bisa jadi nyawa mereka terengut.
Cerita dalam filn diangkat dari novel berjudul "13 Flowers of Nanjing" oleh Geling Yan yang terinspirasi dari sebuah diary. Memang kisahnya belum ketahuan apakah nyata atau rekaan, namun pesan solidaritas dalam film ini begitu menggugah.
"Bumi Manusia", Solidaritas Kaum Terjajah
Dalam "Bumi Manusia" sosok Minke digambarkan piawai mengolah kata-kata menjadi tulisan yang bernas. Meskipun ia berasal dari golongan bangsawan, ia memiliki solidaritas terhadap bangsanya, kaum terjajah. Meski ia anak seorang pejabat daerah, di mata kolonial Belanda mereka tak setara. Ia mendukung habis-habisan perjuangan Nyai Ontosoro mendapatkan haknya, mendapatkan hak asuh anaknya dan juga perlakuan yang setara di hadapan hukum.
Digambarkan juga dalam film ini, para pekerja Nyai Ontosoroh kemudian rela kehilangan nyawa mempertahankan tanah dan membela kehormatan atasannya. Mereka merasa senasib sepenanggungan.Â
Meskipun harta yang melimpah dengan pertanian yang subur dan peternakan yang menghasilkan merupakan hasil kerja keras Nyai Ontosoroh dan anak buahnya, semuanya kemudian dianggap milik kolonial Belanda.Â
Nyai dan anak buahnya hanya warga kesekian, yang ibarat manusia tanpa  hak memiliki kekayaan dan memertahankannya. Padahal hak manusia untuk mendapatkan kesetaraan.