Saat itu ia bersama kaum perempuan Kayu Tiga memberanikan diri untuk berkunjung menemui tetangganya dulu di Batu Merah. Mereka rindu meski diliputi rasa takut.Â
Tapi ketakutan mereka tak terbukti, para mantan tetangga mereka masih bersikap sama seperti dulu. Mereka berpelukan, menangis, dan saling menanyakan kabar.Â
Ketika kemudian dilakukan kunjungan balasan, para muslimat Batu Merah, Nafsiah, Maimunah dkk juga deg degan sepanjang perjalanan. Mereka terus berdoa sejak berangkat karena masih diliputi rasa was-was meski tak terbukti.
Rekonsiliasi banyak dilakukan di akar rumput oleh para kaum wanita dan para kaum muda. Para kaum muda mengadakan acara musik bersama yang melibatkan penabuh hadrah dan peniup terompet.Â
Mereka juga mendongeng berkeliling agar anak-anak di lingkungan konflik terparah tidak mewarisi kondisi akibat segregasi.
Sebuah Film yang Memiliki Pesan Kuat
Setelah film diputar, banyak penonton yang antusias mengajukan pertanyaan. Acara nobar diadakan di Wisma Rahmat Petojo Utara.Â
Pertanyaan mereka di antaranya di mana peran laki-laki dewasa setelah konflik, kenapa para perempuan dan kaum muda yang lebih banyak bergerak aktif melakukan rekonsiliasi?Â
Mengapa setelah perjanjian Malino, masih banyak masyarakat yang trauma dan masih was-was? Bagaimana kondisi Maluku sekarang dan apakah RMS masih eksis? Dan sebagainya.
Aziz Anwar Fachruddin sebagai narasumber dengan dimoderatori Linda Erlina dari KOMiK menjawab hal-hal sepanjang ia ketahui.
Pesan utama dalam film dokumenter ini adalah waspadalah terhadap provokasi termasuk provokasi dengan isu agama. Provokator ahli memainkan emosi dan narasi sehingga yang dulunya kondisinya damai menjadi bertingkai.