Kelanjutan dari "Peri Mimpi dan Kota yang Warganya Dilarang Tidur Bermimpi"
Apakah Kamu tidur bermimpi? Ingatkah Kamu dengan mimpi terakhirmu?
Mungkin Kamu tak suka dengan mimpimu semalam. Mimpi yang seram, berada di sebuah tempat yang sepi mencekam atau dikejar-kejar sosok yang menyeramkan. Tapi tidak setiap hari kan Kamu bermimpi seram?
Berbahagialah Kamu yang tidurnya masih bermimpi. Di tempat kami, bermimpi itu dilarang. Entah bagaimana caranya, kami sudah berbulan-bulan tidur tanpa mimpi.
"Clara, belum setahun kota ini telah berubah total. Jarang terdengar gelak tawa, tak ada lagi yang bercerita tentang mimpi," Tora berkata dengan pandangan yang menerawang menghadap jalanan kota yang tak seramai dulu.
Yang disapanya tertawa kecil. "Sudah lewat jam 17.00, aku bisa tertawa". Tawa Clara berderai, begitu nyaring memekakkan. Tawa yang dipaksakan. Ia tertawa hingga nafasnya tersengal-sengal.
"Ternyata tidak enak menahan tawa. Apalagi dipaksa untuk tertawa. Sama tidak enaknya kita dipaksa tidak bermimpi". Ia bersungut-sungut.
"Kamu yang memilihnya menjadi walikota," Tora melempar Clara dengan penghapus pensil. Clara menghindar, "Siapa kira ia segila itu," dalihnya. "Ia menjanjikan hal-hal yang baik bagi warga kota. Ia nampak pintar dan dapat diandalkan", lanjut gadis berambut merah itu.
"Kamu gadis paling cerdas yang kukenal, bisa juga tertipu oleh penampilannya!" Tora hari ini suasana hatinya begitu buruk. Ia tadi siang dipanggil kepala sekolah karena kedapatan tertawa di lapangan sepakbola. Ia tak bisa menahan luapan kegembiraannya ketika tim sekelasnya berhasil memasukkan bola ke dalam gawang lawan. Ia mendapat peringatan.
Derit pintu terdengar. Seseorang dengan bunyi langkah yang khas pun mendekati mereka. Clara dan Tora mengenalnya. Si X, demikian ia menyebut namanya. Ia salah satu anggota sebuah komplotan rahasia.
Ia langsung bergabung dengan mereka. Ia merendahkan suaranya hingga seperti berbisik-bisik. "Pemasok mimpi itu tak diusir. Mereka menahannya."