Di dalam "Lotus Biru" digambarkan rumah-rumah candu yang masih beroperasi di China secara ilegal. Kemudian putra seorang terpandang, Didi, diracuni dengan Rajaijah juice, seperti opium dengan dosis tinggi yang membuatnya gila.
Aku mulai mengetahui tentang sejarah candu ini dari sebuah resensi buku tentang candu,"Candu Tempo Doeloe" karya James R. Rush, yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu.
Sayangnya aku tak berhasil mendapatkan buku ini. Saat itu bukunya kosong dan belum diterbitkan ulang.
Dari yang kubaca di berbagai sumber, candu sebenarnya telah menjadi barang perdagangan yang dibawa oleh pedagang dari Arab, Turki dan India.
Bahan ini dulunya dikenal sebagai obat dan mulai ditanam pada masa Mesopotamia, kemudian tumbuh subur di Afghanistan, India, dan Pakistan. Ia bisa menjadi obat dalam dosis kecil tapi akan sangat berbahaya jika disalahgunakan.
Benda berbahaya ini kemudian mulai diselundupkan oleh bangsa Inggris sekitar tahun 1729 ke wilayah China. Bangsa Belanda juga meniru jejak Inggris, membawa barang berbahaya ini ke nusantara bahkan lebih awal. Ia memenangkan monopoli candu dari Inggris dan mulai menjualnya pada tahun 1670-an.
Barang ini kemudian menjadi komoditas penting dan dikenai pajak. Ada banyak rumah-rumah candu yang berdiri di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hanya Jawa Barat yang bertahan menolaknya, tapi kemudian jebol pada awal abad ke-20.
Peredaran candu pun semakin luas dan merajalela, terutama pada tahun 1860-1910. Rumah candu dan perdagangan candu ini dikontrol oleh etnis Tionghoa sehingga kemudian memicu terjadi gesekan antaretnis.
Para pemadat memiliki tubuh yang kurus dan semangat kerja yang rendah. Mereka larut dalam khayalan mereka. Balai-balai candu ini yang terkenal ada di Lasem. Lainnya tersebar di Surakarta, Wates, Kedu, Rembang, Madiun, Kediri, Probolinggo, Pasuruan, dan Surabaya.
Melihat kondisi ini Pakubuwono II merasa prihatin. Ia tak ingin anak keturunannya terpapar oleh candu. Upaya dan gerakan memerangi candu juga ada, yaitu dengan mo lima, maling, madon, minum, main, dan madat. Untunglah kebiasaan madat ini mulai benar-benar menghilang setelah masa kemerdekaan.