Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Berkaca dari Makassar dan Yogyakarta, Bikin Film Tak Harus ke Jakarta

6 Agustus 2019   08:50 Diperbarui: 6 Agustus 2019   09:11 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi sineas kini tak harus ke ibukota (dokumentasi: brilio)

Tak harus ke ibukota
untuk jadi sineas terkenal
Dengan SDM merata dan teknologi digital
karya darimanapun bisa terkenal

Industri perfilman di Indonesia terus berkembang dinamis. Kuantitasnya terus meningkat, genrenya makin beragam, dan pelakunya tidak hanya didominasi sineas dan rumah produksi Jakarta. Hal ini terbukti dari film-film karya daerah yang mulai mencuri perhatian.

Dulu mereka yang bercita-cita menjadi artis ataupun bekerja di bidang perfilman harus ke ibukota. Minimal ke Surabaya deh. Di sana mereka bersaing dengan mereka yang tak kalah tampan, cantik, dan berbakat, untuk terpilih di ajang audisi. Adakalanya impian mereka terpaksa kandas karena persaingan bekerja di ibukota lebih keras dari yang mereka bayangkan.

Hingga tahun 2000-an industri perfilman masih dikuasai oleh rumah produksi Jakarta. Jikapun ada film-film produksi lokal umumnya hanya ditayangkan di televisi lokal seperti di TVRI Surabaya, TVRI Yogyakarta dan sebagainya.

Kondisi industri perfilman daerah kemudian mulai nampak berdenyut ketika mulai banyak diadakan workshop pembuatan film pendek. Hal ini seiring dengan hadirnya berbagai ajang lomba film pendek baik yang bersifat fiksi maupun yang bersifat dokumenter. Ajang lomba tersebut di antaranya Eagle Awards dan Festival Film Pendek Indonesia.

Selain itu di berbagai daerah bertumbuhan komunitas perfilman dan juga hadir berbagai festival film. Festival ini menghadirkan film-film panjang dan pendek berkualitas yang telah dikurasi. Ada juga beberapa kategori yang diperlombakan dan sebagian telah bertaraf mancanegara. Festival film di daerah yang beken di antaranya Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Balinale, Malang Film Festival, Pesta Film Solo, Toraja Film Festival, dan Festival Film Indie Lampung.

Dengan semakin banyaknya diadakan workshop dan festival serta adanya sekolah kejuruan dan universitas di bidang film seperti Universitas Multimedia Nusantara maka sumber daya manusia di bidang perfilman pun makin merata. Kualitas sineas film di Jakarta dan di daerah kini sama bagusnya. Semakin pesatnya perkembangan teknologi digital juga makin menghilangkan sekat-sekat geografis. Sehingga film karya daerah pun berpotensi dikenal di seluruh Indonesia.

Film daerah yang paling menyentak adalah "Uang Panai". Dirilis tahun 2016 film bergenre komedi ini laris manis. Ia juga ditayangkan oleh bioskop nasional, tidak hanya di Makassar. Film dengan unsur kelokalan tentang uang mahar ini mampu menembus angka 500 ribu penonton.

Hal yang sama juga terjadi pada film berjudul "Maipa Deapati Datu Museng" yang bercerita tentang perlawanan masyarakat Makassar melawan VOC. Film ini juga ditayangkan di luar daerah selain Makassar. Begitu juga dengan film berjudul "Silariang" yang tayang tahun 2017. Film tentang kawin lari ini juga diminati tak hanya dari warga Makassar.

Tak hanya mampu berprestasi di tingkat nasional, karya warga Makassar juga berhasil menembus mancanegara. Film pendek bertajuk "Kado" karya Aditya Ahmad berhasil meraih penghargaan "Best Short Film" dalam ajang Venice International Film Festival 2018 untuk kategori Orizzonti Section.

Sineas asal Yogyakarta juga tak kalah berprestasi. Film indie berjudul "Tengkorak" berhasil melalang buana ke berbagai festival mancanegara seperti Cinequest di California, sebelum kemudian tayang di bioskop nasional. Film bergenre fiksi ilmiah ini unik meskipun jalan ceritanya menurutku sempat hilang arah.

Film pendek "Makmum" juga langsung menarik perhatian. Sutradara film bergenre horor ini, Riza Pahlevi, pandai memainkan dinamika dan ketegangan dengan bermain-main di lorong asrama dan situasi mencekam di kamar karena ada 'sesuatu' yang mengikuti gerakan sholat. Selain mendapatkan penghargaan "Direction Special Mention" di The Crappy International Movies in Sueca, film ini kemudian dilirik rumah produksi besar, MD Pictures, untuk diangkat ke layar lebar dan tayang pertengahan Agustus ini.

Pada tahun 2016, film pendek berjudul "Prenjak" asal Yogya juga berhasil mengharumkan nama Indonesia berkat prestasinya di ajang Cannes. Di even bergengsi tersebut sutradara film, Wregas Bhanuteja berhasil meraih penghargaan di kategori Semaine de la Critique.

Kini dengan semakin meratanya penetrasi dan cepatnya internet maka siapapun juga bisa membuat film pendek ataupun webseries dan mengunggahnya di kanal video seperti YouTube. Banyak webseries yang juga populer dan diminati warganet di berbagai daerah. Bayu SKAK, misalnya. Ia makin dikenal ketika aktif sebagai YouTuber asal Malang, kemudian sosoknya dilirik dan dua filmnya, "Yowes Ben" 1 dan 2 pun laris manis.

Kalian pun juga bisa menjadi sineas. Saat ini peluang film Kalian dikenal pun juga makin besar. Yang penting adalah kreativitas dan kemauan untuk menghasilkan karya berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun