Buku "Lebaran di Karet" karya Umar Kayam tentang mudik itu cerdik membuat campur aduknya emosi. Antara sedih dan bikin geli. Di situ dikisahkan berbagai drama yang mewarnai niat untuk mudik. Hal ini membuat lahirnya pertanyaan, mengapa mereka ngotot untuk mudik?
Kenapa sih harus mudik waktu libur Idul Fitri? Apa tidak bisa diganti hari lain?
Mungkin pertanyaan serupa juga hinggap di benak sebagian orang. Kenapa mereka rela untuk bermacet-macet demi menuju kampung halaman. Belum lagi mereka yang nekat bersama anak istri menjelajahi puluhan hingga ratusan kilometer dengan roda dua. Teater absurd, kata Seno Gumira.
Aku dulu juga tak paham dengan kengototan itu ketika belum merasakan tinggal jauh terpisah dari keluarga. Mungkin sudah ada penelitian tentang hal ini, mudik bisa jadi ada kaitannya dengan tradisi, atau ada relasinya dengan psikologi manusia.
Manusia pada dasarnya suka bersosialisasi. Meskipun kemudian hidup merantau mereka memiliki akar berupa kenangan masa kecil. Kenangan bersama orang tua, keluarga besar, juga kawan-kawan masa kecil. Pada saat mudik itulah maka mereka bisa mencicipi romantika itu, mengingat masa lalu dan juga mengetahui kisah masa kini.
Mudik menurut Umar Kayam merupakan kegiatan solidaritas. Ia berfungsi mengembalikan rasa rindu pada sanak saudara, serta mengingat kembali akar sosial dan budaya. Â
Lantas kenapa tidak bisa diganti bulan lainnya? Menurutku hal ini dikarenakan ada semacam kesepakatan yang tak tertulis bahwa pada bulan inilah mereka yang terpencar akan berkumpul. Pada saat lebaran atau hari-hari setelahnya mereka yang dulunya terpisah kemudian bertemu dan melepas rindu. Tradisi ini bisa berubah apabila 'kesepakatan' di antara anggota keluarga atau kelompok juga bergeser. Misalnya bertemunya saat akhir tahun.
Suka Dukanya Mudik
Ketika masih tinggal di Malang aku tak pernah merasai mudik saat lebaran. Rumah nenekku di sebelah rumah, sehingga aku tinggal mengetuk pintu saat keluarga besar berkumpul.