Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Kisah-Kisah Tradisi Ramadan Masa Kecil

3 Juni 2018   09:00 Diperbarui: 3 Juni 2018   11:56 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama Ramadan ada saja hal-hal yang mengingatkan akan tradisi yang keluarga kami lakukan saat aku masih kecil. Sebagian kegiatan itu masih dilakukan Ibu dan para keponakan kami jika aku pulang ke kampung halaman. Jika melihat tradisi itu aku merasa flashback ke masa kecilku. Tradisi itu mulai dari berkirim apem, melakukan keramas jelang puasa dan memecah celengan.

Pada masa kecil ada serangkaian kegiatan yang kami lakukan selama bulan Ramadan. Oleh karena kegiatan itu kami lakukan berulang selama bulan puasa, maka kami pun lama-kelamaan hafal dan menjadikannya sebuah tradisi. Beberapa tradisi itu bahkan kami boyong dan terapkan ketika masing-masing dari kami telah berkeluarga.

Tradisi itu dimulai sebelum berpuasa. Jelang berpuasa, Ibu mengingatkan kami untuk berkeramas agar kami bersih lahir dan batin. Adakalanya prediksi Ibu akan hari pertama puasa itu salah, sehingga ketika hari pertama jatuh pada lusa maka kami pun melakukan keramas lagi pada keesokan harinya. Ya, tidak apa-apa sih. Tapi Malang saat itu masih dingin, jadinya jika keramas di atas jam tiga sore maka badan pun bisa menggigil.

Usai badan bersih maka mulailah kami ater-ater atau berkirim makanan ke para tetangga. Isiannya umumnya kue dengan menu utama berupa apem. Mengapa apem? Karena apem itu merupakan makanan yang memiliki simbol ampunan. Aku dan kakak perempuan yang biasa kebagian tugas ini, sedangkan kakak laki-laki asyik bermain.

Kegiatan berikutnya tentunya ke masjid untuk sholat tarawih. Wah awal puasa itu masjid selalu ramai sesak. Meskipun jumlah rakaatnya 23 rakaat, jarang dari para jemaah yang hanya menunaikan delapan rakaat. Mereka dengan senang hati melakukan tarawih dan witir secara penuh. 

Nah enaknya waktu aku kecil ada dispensasi. Jika aku capek maka aku boleh duduk dulu. Jaman itu ada bibi kami yang seolah-olah menjadi 'polisi masjid'. Ia memarahi anak-anak kecil yang ramai dan bermain kejar-kejaran saat tarawih. Sayangnya setelah Beliau meninggal tidak ada lagi yang melakukan tugas tersebut. Anak-anak kecil pun bebas berlarian tanpa ada yang ditakuti.

Setelah liburan sekolah dimulai maka Ibu pun mulai mengajak kami berbelanja baju baru. Waktu itu kami memang jarang dibelikan baju baru, sehingga kesempatan ini kami lakukan dengan serius. Biasanya Ibu ada jatah untuk tiap anak. Jadi jika harga tiap baju murah maka kami bisa dapat baju lebih banyak. Sambil membeli baju biasanya Ibu berbaik hati membelikan kami sebungkus kembang api tiap anak. Asyikkkk...

Mainan kembang api itu menyenangkan (sumber: pixabay)
Mainan kembang api itu menyenangkan (sumber: pixabay)
Waktunya bermain kembang api. Kami bisa bermain setelah jam tarawih. Permainan kembang api itu asyik, kami berlomba siapa yang nyalanya lebih lama. Setelah pijaran itu berhenti, batang itu cepat-cepat kami rendam dalam air. Kami suka mendengar bunyi 'nyesss'-nya. Kadang-kadang kakak laki-laki punya permainan lainnya yaitu kembang tetes. Bentuknya seperti kertas. Ketika dinyalakan ia akan berpijar dengan pijaran lebih besar daripada kembang api. Dia akan padam setelah kertasnya habis.

Jaman aku kecil kami belum terbiasa bikin kue kering sendiri. Kami mulai bikin kue kering setelah aku duduk di bangku kelas lima. Ayah yang biasa menyuplai kue kering yang biasa disebut jajan pan-panan. Kue itu berbentuk beruang dan kupu-kupu dengan rasa cokelat yang lezat. Ibu juga suka memesan kue kering buatan bibi. Kuenya khas, yaitu berbentuk bunga dengan selai di bagian tengah dan kue semprit dengan di atasnya misis cokelat. Enak!!!

Jika kue kering itu sudah dibeli maka pertanda lebaran akan segera tiba. Ibu pun akan sibuk. Ia akan mulai berbelanja dan menyiapkan masakan untuk ater-ater lagi. Kali ini yang kami bagikan adalah makanan berat.

Ia dan nenek akan memasak nasi kuning, ayam goreng atau ayam bumbu rujak, kering tempe, dadar isi abon, dan mie kuning. Aku dan kakak lagi-lagi kebagian mengantar, sedangkan kakak laki-laki lagi-lagi bebas tugas. Pada hari-hari itu kami juga kebagian banyak makanan kiriman dari tetangga. Alhasil Ibu pun malas memasak dan masing-masing dari kami bisa dapat jatah satu porsi makanan ater-ater tetangga.

Yup mulailah tradisi berikutnya. Kali ini kegiatan yang kami tidak sukai. Apalagi kalau bukan mengelap kaca.

Ibu selalu ingin kaca jendelanya cemerlang. Naas bagi anak-anaknya, rumah kami banyak menggunakan kaca bukan hanya jendela namun juga pintu-pintunya. Di loteng juga banyak yang menggunakan kaca. Alhasil kami bertiga pun kerja keras membersihkan kaca. Ibu kemudian inspeksi hasil kerja kami. Jika jendela masih buthek alias belum cemerlang, maka kami harus mengulang pekerjaan.

Kini giliran keponakan yang mengelap kaca (dokpri)
Kini giliran keponakan yang mengelap kaca (dokpri)
Rumah sudah rapi dan jendela kaca sudah cling. Waktunya menata kue dan memecah celengan. Dua-duanya favoritku. Aku suka menata kue pan-panan dan permen dalam toples-toples juga wadah berputar favorit Ibu. Aku juga diperbolehkan menyantap remahannya.

Biasanya nenek juga memintaku menata toples miliknya. Alhasil aku juga bisa mencicipi kue-kue milik nenek.

Setelah itu, ayah akan mengumpulkan kami. Ia akan memulai tradisi memecah  celengan jagonya. Ketika celengan gerabah itu pecah maka kami berlomba mengumpulkan duitnya. Kami menghitung duit itu dengan semangat dan berdebar-debar apakah ayah akan membagikan uang itu ke kami atau tidak.

Asyik waktunya memecah celengan (dokpri)
Asyik waktunya memecah celengan (dokpri)
Tradisi berikutnya adalah keramas. Ini juga trial and error. Jika lebarannya ternyata lusa maka kami harus keramas dua kali. Tapi, beberapa kali malah lebaran di tempat kami tidak sesuai dengan prediksi yakni malah maju sehari. Ibu pun sedih kami tidak keramas dulu sebelumnya.

Tradisi seperti keramas, ater-ater, menata kue dan mengelap kaca masih berlangsung hingga kini di rumah Malang. Kini yang melakukan pekerjaan mengelap kaca adalah para keponakan kami. Sedangkan makanan ater-ater masa kini adalah hasil memesan. Ibu tidak punya teman untuk membantunya memasak, jadinya pakai cara yang praktis yaitu tinggal pesan.

Itu tradisi masa kecil yang kuingat. Bagaimana dengan tradisi Ramadan Kawan-kawan Kompasianer?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun