Rupanya hari itu terasa berat dan juga kocak. Saat kami bangkit lagi untuk memulai rakaat kelima, terdengar sebuah bunyi misterius. Awalnya aku mengacuhkan bunyi lirih itu. Tapi,bunyi itu tidak kunjung berhenti dan nadanya meliuk-liuk semakin tinggi. Itu bunyi yang familiar! Badanku mulai bergetar. Bunyi misterius  itu menyentuh emosiku, menggetarkan sendi-sendi tubuhku. Badanku semakin bergetar, aku sibuk menahan tawaku.
Sementara itu sumber bunyi misterius itu pun terlacak. Pelakunya menahan malu, sedangkan kawan-kawan sekelilingnya pun tak kuasa membendung keinginan untuk tertawa lepas. Ia pun kemudian ikut tertawa dan tertawa. Jenis tawa yang menular dan bakal lama.
Korban-korban bunyi misterius itu meluas. Mereka tertular virus tawa. Tawa itu pun membuyarkan konsentrasi mereka untuk tetap menjalankan ibadah tarawih.Â
Badanku semakin terguncang. Aku juga menahan tawa dan semakin susah ketika shaf di belakangku sudah porak-poranda, diobrak-abrik oleh virus tawa. Duh aku kemudian mengatur nafas dan cukup berhasil hingga tarawih usai.
Sambil menunggu sholat witir dimulai, aku mengamati korban-korban bunyi misterius itu. Korban virus itu punya kemiripan, wajah kemerahan lelah tertawa, lemas, dan masih ada usaha untuk tertawa meskipun rahang sudah terasa kaku karena capek tertawa. Pelaku bunyi itu juga nampak kelelahan tertawa.Â
Rupanya pelakunya tak bisa menahan diri mengeluarkan bunyi alamiah tubuh karena waktu yang lama menunggu untuk sholat tarawih. Wajar sih. Aku saja sudah kesemutan dan seolah-olah kaki menghilang.
Meski sudah belasan tahun kejadian itu lewat, aku masih bisa mengingat kejadian itu. Setelahnya aku pun terkikik geli. Mungkin jika aku bertemu dengan pelaku bunyi itu aku bakal tertawa terbahak-bahak lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H