Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ayahku Berhenti Jadi Petani Tebu

29 Agustus 2017   12:32 Diperbarui: 29 Agustus 2017   18:24 3018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrian truk untuk proses giling (sumber: AntaraJatim.com)

Bertahun-tahun aku dibesarkan dari usaha tebu, aku merasa malu ketika aku tidak tahu-menahu tentang proses produksi tebu dan bagaimana kondisinya saat ini. Ayah bercerita jika pada musim giling maka petani harus rela antre. Bahkan banyak sopir truk yang rela tidur di truknya demi menjaga antrian tersebut.

Antrian truk untuk proses giling (sumber: AntaraJatim.com)
Antrian truk untuk proses giling (sumber: AntaraJatim.com)
Proses tebu menjadi gula sendiri cukup panjang dari penggilingan, pengepresan untuk mendapatkan sari tebunya, pemurnian untuk mendapatkan gula dan membuang zat lainnya, penguapan, pengkristalan, proses sentifugasi, pengeringan, pendinginan, dan penyaringan. Ada juga di dalamnya proses penghilangan warna sehingga di pasaran terdapat gula pasir yang kekuningan dan ada juga gula pasir yang putih cemerlang.

Meskipun usaha tebu memasuki era suram, aku dan kakakku berharap bisa meneruskan usaha ayah. Aku terkejut ketika kedua orang tuaku berkata mereka tidak lagi bertanam tebu. Mereka hanya menyewakan truk dan beralih bertanam kayu sengon.

Entah kenapa aku merasa sedih, mungkin ayahku lebih sedih lagi. Puluhan tahun ayah menggeluti tebu dan kemudian menyerah dengan kondisi usaha tebu yang lesu. Kenapa? Bukannya untung malah rugi, cerita ibu.

Harga yang dibeli di tingkat petani tebu begitu rendah sehingga jika dibandingkan dengan biaya pemeliharaan itu impas atau malah rugi. Harga di tingkat petani hanya berkisar Rp 9000-an. Aku terheran-heran karena di pasar atau supermarket harga gula bisa Rp 14-16 ribu per kilonya. Hanya akhir-akhir ini ada gula yang Rp 12.500.

Ibu juga bingung kenapa harga di luar bisa mahal sedangkan di tingkat petani begitu ditekan. Bagaimana jika dijual sendiri? Berjualan gula sendiri agak sulit karena ibu pernah melakukannya. Harus cepat lakunya agar tidak banyak disimpan. Hal ini dikarenakan jika gula bersinggungan dengan udara maka gula pasir bisa basah dan seolah-olah mencair. Kadang gula lokal juga agak susah bersaing dengan gula impor karena warnanya yang terkadang agak kusam, padahal kualitasnya bisa jadi lebih baik.

Kemarin terjadi demo petani tebu di istana. Sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan petani tebu aku bisa memahami dan ikut trenyuh. Jangan sampai petani tebu kemudian beralih ke profesi lain karena iklim usaha tebu sudah tak lagi manis seperti dulu. Jika itu terjadi maka produksi gula dalam negeri bakal makin menyusut dan akan makin sedikit yang tertarik menjadi petani.

Tata niaga gula menurutku perlu dievaluasi ulang dari proses hulu ke hilir, mulai dari harga bibit, harga pupuk, pembagian pupuk subsidi proses antrian giling dan hingga gula didistribusikan ke masyarakat.

Sematan negeri gula di Malang Selatan akankah bertahan dalam bertahun-tahun mendatang? Kuharap demikian. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun