Siang-siang begini dengan panas yang terik asyiknya menggigiti batang tebu. Ayah terkadang suka membawa berbatang-batang tebu, kemudian tebu itu dikupas dan dipotong kecil-kecil. Aku dan kakak kemudian asyik menggigitinya, menikmati sari tebunya yang manis.
Jika ayah membawa oleh-oleh tebu aku menyambutnya dengan gembira. Hingga suatu saat ada insiden kecil. Mungkin ada semut yang tak rela berbagi sari tebu denganku dan menggigitku. Gara-gara gigitan semut itu pipiku bengkak sebelah. Sejak itu aku enggan menggigiti tebu dan ayah tidak pernah lagi membawakan batang tebu.
Ayahku petani tebu. Ia bekerja di sebuah pabrik gula di Malang bagian selatan bertahun-tahun. Ia juga punya usaha tebu sendiri. Ia bertanam tebu bersama-sama petani tebu dari masyarakat sekitar dengan sistem bagi hasil. Ia menyediakan bibit dan pupuk, sedangkan petani penggarap menyiapkan tanah dan merawatnya. Secara berkala ayah menyambangi kebun tebunya, memeriksa kondisinya dan menyiapkannya jika sudah cukup umur untuk dipanen.
Suatu kali ayah pernah mengajakku melihat-lihat kebunnya. Sepanjang mata memandang terhampar tanaman tebu. Jika melihat luasnya kebun itu aku merasa kampung halamanku itu bak negeri gula-gula dan aku adalah Gretel yang diculik penyihir di negeri gula.
Masa yang paling ditunggu adalah musim giling. Pada masa ini pabrik juga paling sibuk sehingga ayah pun bekerja dengan sistem shift. Jika ayah mendapat shift malam maka paginya ia akan membawa burung puyuh goreng yang sedap.
Ayah bertahun-tahun menjadi petani tebu hingga ia pensiun dari pabrik gula tempat ia bekerja. Meski demikian, ia masih setia dengan gula-gula. Mungkin karena terinspirasi dengan gula ayah, kakakku pun kemudian melakukan penelitian terkait gula semut atau gula merah bubuk dan molase alias tetes tebu. Kedua jenis gula itu juga banyak dihasilkan oleh Malang selatan. Rasanya kampung halamanku memang patut disebut negeri gula.
Tapi nasib petani tebu tidak semanis gula. Awalnya menjadi petani tebu itu lumayan menguntungkan. Buktinya aku dan kakakku bisa kuliah dari usaha tebu.
Dulu kupikir ayah akan mewariskan usaha tebu itu ke anak-anaknya. Akan tetapi sejak satu dekade terakhir ia tampak murung melihat usaha tebu yang makin memburuk. Ia berkata jika harga pupuk begitu mahal. Pupuk subsidi pun langka.
Aku awam masalah pupuk, apakah tidak bisa diganti pupuk alami? Memang pupuk alami kadar unsur haranya kurang, tapi apakah memang tidak bisa menggantikan pupuk buatan?
Ayah lalu bercerita jika kawannya, seorang pemuka desa yang disegani, ditangkap gara-gara pupuk. Ia kehabisan jatah pupuk di desanya dan kemudian membeli pupuk subsidi di desa sebelah. Ia berniat menggunakannya untuk kebunnya sendiri tapi dianggap melakukan perbuatan ilegal. Ia bercerita dengan muram karena menganggap penangkapan itu tidak adil.Â
Ibu menambahkan jika ayah tidak lagi bergantung pada pendapatan tebu. Ia memiliki usaha sampingan yaitu truk pengangkut. Jika mengandalkan tebu bakal susah, usaha tebu tidak semenarik dulu.
Bertahun-tahun aku dibesarkan dari usaha tebu, aku merasa malu ketika aku tidak tahu-menahu tentang proses produksi tebu dan bagaimana kondisinya saat ini. Ayah bercerita jika pada musim giling maka petani harus rela antre. Bahkan banyak sopir truk yang rela tidur di truknya demi menjaga antrian tersebut.
Meskipun usaha tebu memasuki era suram, aku dan kakakku berharap bisa meneruskan usaha ayah. Aku terkejut ketika kedua orang tuaku berkata mereka tidak lagi bertanam tebu. Mereka hanya menyewakan truk dan beralih bertanam kayu sengon.
Entah kenapa aku merasa sedih, mungkin ayahku lebih sedih lagi. Puluhan tahun ayah menggeluti tebu dan kemudian menyerah dengan kondisi usaha tebu yang lesu. Kenapa? Bukannya untung malah rugi, cerita ibu.
Harga yang dibeli di tingkat petani tebu begitu rendah sehingga jika dibandingkan dengan biaya pemeliharaan itu impas atau malah rugi. Harga di tingkat petani hanya berkisar Rp 9000-an. Aku terheran-heran karena di pasar atau supermarket harga gula bisa Rp 14-16 ribu per kilonya. Hanya akhir-akhir ini ada gula yang Rp 12.500.
Ibu juga bingung kenapa harga di luar bisa mahal sedangkan di tingkat petani begitu ditekan. Bagaimana jika dijual sendiri? Berjualan gula sendiri agak sulit karena ibu pernah melakukannya. Harus cepat lakunya agar tidak banyak disimpan. Hal ini dikarenakan jika gula bersinggungan dengan udara maka gula pasir bisa basah dan seolah-olah mencair. Kadang gula lokal juga agak susah bersaing dengan gula impor karena warnanya yang terkadang agak kusam, padahal kualitasnya bisa jadi lebih baik.
Kemarin terjadi demo petani tebu di istana. Sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan petani tebu aku bisa memahami dan ikut trenyuh. Jangan sampai petani tebu kemudian beralih ke profesi lain karena iklim usaha tebu sudah tak lagi manis seperti dulu. Jika itu terjadi maka produksi gula dalam negeri bakal makin menyusut dan akan makin sedikit yang tertarik menjadi petani.
Tata niaga gula menurutku perlu dievaluasi ulang dari proses hulu ke hilir, mulai dari harga bibit, harga pupuk, pembagian pupuk subsidi proses antrian giling dan hingga gula didistribusikan ke masyarakat.
Sematan negeri gula di Malang Selatan akankah bertahan dalam bertahun-tahun mendatang? Kuharap demikian.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H