Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Akankah Piala Oscar Digenggam Sineas Muda Indonesia Satu Dekade Mendatang?

8 Februari 2017   22:10 Diperbarui: 14 Februari 2017   20:26 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saatnya pegang kendali. Sebuah prestasi, regenerasi ataupun kemajuan bisa direncanakan, termasuk di dunia perfilman nasional. Para sineas senior tidak bisa hanya berharap film Indonesia tetap eksis. Syukur-syukur kualitas filmnya masih terjaga dalam 1-2 tahun mendatang, namun bagaimana jika malah nyungsep dan memasuki era kegelapan lagi? Untuk memelihara keeksisan perfilman nasional juga meningkatkan kualitasnya, tentunya perlu dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah, institusi pendidikan, insan perfilman, dan tentunya masyarakat.

Sudah bukan eranya lagi mengagung-agungkan kalangan profesi tertentu atau mengandalkan sektor tertentu. Saat ini bidang kreatif turut berkontribusi dalam pendapatan suatu negara, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara. Perfilman adalah salah satu dari ekonomi kreatif unggulan. Tahun 2016 sendiri diperkirakan pendapatan kotor dari penjualan tiket mencapai Rp 1 Triliun dikarenakan 10 film yang dirilis tahun tersebut ditonton lebih dari satu juta penonton. Oleh karenanya ketika seorang anak bercita-cita menjadi penulis skenario, kameraman, pemeran film ataupun sutradara maka hal tersebut patut didukung oleh orang tuanya. Menjadi sineas film sama membanggakannya dengan profesi lainnya. Peluang berprestasi ke tingkat mancanegara juga besar.

Ada berbagai cara untuk mewujudkan impian menjadi insan perfilman, baik lewat jalur formal maupun informal. Untuk jalur formal maka generasi muda bisa masuk SMK ataupun perguruan tinggi yang membuka jurusan perfilman dan animasi. Di antaranya SMK Raden Umar Said di Kudus,  International Design School, Universitas Bina Nusantara, Institut Seni Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, dan Universitas Multimedia Nusantara.

Sedangkan jalur informal bisa didapatkan dengan mengikuti berbagai workshop dan komunitas film, selain tentunya juga berbekal imajinasi dan peka terhadap kondisi di sekeliling. Film yang beredar di masyarakat bukan hanya film fiksi, tapi juga bisa berupa film dokumenter dan juga film animasi. Imajinasi sendiri bisa diasah dengan banyak membaca, sering menonton berbagai film, dan keberanian menyampaikan gagasan.

Ajang kompetisi film pendek yang marak dihelat beberapa tahun terakhir bisa menjadi laboratorium para sineas muda untuk belajar, praktik dan mengasah kemampuan mereka, baik dalam hal mengutarakan gagasan maupun mengeksekusi ide tersebut menjadi film yang menarik. Ada banyak sutradara yang berangkat dari film pendek sebelum menggarap film layar lebar, contohnya Ifa Isfansyah dan Harry Dagoe Suharyadi.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Hasil dari ‘penggodokan’ tersebut mulai terlihat.  Saat ini mulai hadir sutradara muda berprestasi. Mereka adalah Aditya Ahmad dengan Sepatu Baru (2014) yang meraih Special Mention Award at Generation Section, Berlin International Film Festival 2014,Monica Vanesa Tedja dengan karyanya Sleep Tight, Maria (2014) yang memenangkan Festival Sinema Prancis 2015, Wregas Bhanuteja  yang meraih The Leica Cine Discovery Prize di Cannes Film Festival 2016 dengan Prenjak (2016), Tiara Kristiningtyas dan Mohammad Azri dengan penghargaan Best Cinematography di Global Short Film Awards 2016 untuk film tentang gempa Yogyakarta berjudul 05:55 (2016) dan masih banyak lainnya.

Oh iya ada satu lagi sutradara muda yang membuat Kalian berdecak kagum, yaitu Natasha Dematra, remaja kelahiran 9 April 1988. Ia meraih penghargaan sutradara perempuan muda dunia  dan masuk Museum Rekor Indonesia karena memulai karirnya sejak usia 11 tahun. Natasha telah menyutradarai empat film panjang Mama (2011), Aku Harus Pergi (2015), Tears of Ghost, dan Angel in America serta meraih lebih dari 30 penghargaan di bidang akting baik dari dalam negeri maupun mancanegara seperti perannya dalam I'm Star (2013) yang membuahkan penghargaan aktris terbaik dari Accolade Global Competition di Amerika.

Dari riwayat perfilman Indonesia tersebut, peran sineas muda memang tak bisa ditampik. Mereka berani, memiliki idealisme, dan kaya gagasan. Para sineas muda berbakat ini bisa hadir dimana saja, bukan hanya di ibukota. Mereka hanya perlu diberi wadah untuk belajar dan berpraktik, juga suntikan rasa percaya diri untuk mengeluarkan gagasan dan keberanian untuk berkompetisi dengan sineas muda dari mancanegara. Tekad dan semangat dari para sineas muda ini bisa menular sehingga bibit-bibit berpotensi dalam dalam dunia perfilman akan semakin bertumbuhan. Semangat kalangan sineas muda ini sama halnya dengan spirit yang digelorakan Danamon dengan campaign' Saatnya Pegang Kendali'

Apakah suatu saat piala Golden Globe atau Oscar bisa diraih para sineas Indonesia? Mimpi itu bisa diraih asal insan perfilman Indonesia konsisten untuk menghasilkan karya yang berkualitas dan mau terus memperbaiki diri.

Natasha Dematra si belia yang karya filmnya diakui mancanegara (sumber: urbannewsid.com)
Natasha Dematra si belia yang karya filmnya diakui mancanegara (sumber: urbannewsid.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun