Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Akankah Piala Oscar Digenggam Sineas Muda Indonesia Satu Dekade Mendatang?

8 Februari 2017   22:10 Diperbarui: 14 Februari 2017   20:26 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angga Dwimas Sasongko, sutradara Surat dari Praha yang mewakili Indonesia dalam ajang penyisihan Best Foreign Language Film (sumber: news.lewatmana.com)

Pecinta film Indonesia pada saat pembacaan nominasi Oscar 2016 untuk kategori film berbahasa asing terbaik (Best Foreign Language Film) menahan nafas. Mereka penasaran sekaligus berharap, akankah film Surat dari Praha meraih nominasi di ajang penghargaan film bergensi tersebut. Rupanya film besutan sutradara muda Angga Dwimas Sasongko ini gagal meraih nominasi. Namun, sineas Indonesia tidak berputus asa. Menilik dari kualitas film Indonesia yang terus berkembang, bisa jadi dalam satu dekade mendatang ada satu atau lebih penghargaan film bergensi yang digapai sineas Indonesia

Sejak tahun 2002 hampir setiap tahun Indonesia mengirimkan wakilnya pada seleksi Academy Award for Best Foreign Language Film. Terhitung ada 12 film yang dikirimkan untuk dinilai oleh para dewan juri penghargaan Oscar dalam rentang 2002-2016. Sedangkan dalam rentang waktu 1980-2000 hanya ada enam film Indonesia yang dikirimkan.

Perfilman nasional memang sempat mati suri pada tahun 90-an. Pada masa-masa tersebut baik kuantitas maupun kualitas film sangat jauh menurun. Banyak yang pesimis perfilman nasional mampu untuk bangkit. Namun, sineas muda masa itu membuktikan sebaliknya. Masih ada kans dunia perfilman nasional untuk kembali eksis.

Awal tahun 2000 bisa disebut tahun pertaruhan atau tahun penuh risiko untuk membalikkan kondisi perfilman nasional. Sejumlah sineas muda berbakat  dengan berbekal tekad saatnya pegang kendali kemudian membuat film yang tidak biasa pada masa itu, tidak ada cinta-cintaan dan juga tidak mengandung konten yang vulgar. Ya, temanya adalah drama keluarga, dengan tokoh utama adalah anak-anak.  Kalian pasti bisa menebak judulnya, yakni Petualangan Sherina (2000). Ada sineas muda brilian di balik film tersebut yaitu Riri Riza, dimana pada waktu menyutradarai film tersebut ia masih berusia 30 tahun. Ia bekerja sama dengan Mira Lesmana yang bertindak selaku produser.

Sebelumnya, duo Riri Riza-Mira Lesmana juga memiliki proyek film yang memiliki kesan mendalam pada dunia perfilman nasional, yaitu Kuldesak  (1998) yang berkisah tentang empat anak muda Jakarta yang memiliki sisi kelam dalam hidupnya. Film omnimbus dengan unsur humor gelap ini digarap Riri Riza dan Mira Lesmana bersama dua sutradara muda masa itu, yaitu Nan Triveni Achnas dan Rizal Mantovani. Film Kuldesak berhasil meraih nominasi Silver Screen Award kategori Best Asian Feature Film pada Singapore International Film Festival tahun 1999.

Sutradara muda yang mendobrak kelesuan film Indonesia, dari kiri ke kanan: Nan Triveni Achnas, Riri Riza, Mira Lesmana dan Rizal Mantovani (sumber: Muvilla.com)
Sutradara muda yang mendobrak kelesuan film Indonesia, dari kiri ke kanan: Nan Triveni Achnas, Riri Riza, Mira Lesmana dan Rizal Mantovani (sumber: Muvilla.com)
Setelah kesuksesan Petualangan Sherina, sineas Indonesia semakin percaya diri berkiprah. Rizal Mantovani bersama Jose Poernomo menghasilkan film horor jenis baru yang bebas dari unsur vulgar, berjudul Jelangkung (2001). Setelah Jelangkung yang terinspirasi dari ritual mistis jailangkung, bermunculan beragam film horor serupa dengan tokoh utama para remaja dan mengangkat tema urban legend.

Petualangan Sherina dan Jelangkung ibarat pembuka jalan. Selanjutnya, semakin bermunculan sineas muda yang memberi warna pada era ‘kebangkitan’ perfilman Indonesia. Nan Achnas kembali mencuri perhatian dengan filmnya Pasir Berbisik (2001) yang membuahkan Jury's Special Award For Most Promising Director pada Festival Film Asia Pacific 2001. 

Film tersebut juga berhasil mendulang delapan nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2004 dan mengukuhkan Dian Sastrowardoyo sebagai artis wanita terbaik pada Festival Film Asiatique Deauville 2002. Rudy Soedjarwo juga sukses menggarap Ada Apa dengan Cinta (2002) dengan meraup lebih dari dua juta penonton. Sebuah prestasi yang dahsyat pada masa itu dan berhasil mencetak rekor penjualan tiket film Indonesia sebelum kemudian dipecahkan oleh Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Laskar Pelangi (2008).

Sineas-sineas muda berbakat lainnya pun kemudian unjuk karya, seperti Sekar Ayu Asmara dengan Biola Tak Berdawai (2003) dan Upi Avianto dengan 30 Hari Mencari Cinta (2004). Nama Hanung Bramantyo  kemudian mulai bersinar dengan Brownies (2004), disusul Joko Anwar dengan Janji Joni (2005), dan Rako Prijanto dengan debutnya sebagai sutradara di Ungu Violet (2005). Dan, yang tidak boleh dilewatkan adalah nama Nia Dinata yang sukses melakukan debutnya dengan Ca Bau Kan (2002) yang diangkat dari novel karya Remy Sylado. Ia kembali mendulang sukses dengan Arisan! (2003) dan Berbagi Suami (2006). Hingga saat ini baru Nia Dinata yang kedua filmnya, Ca Bau Kan dan Berbagi Suami, ditunjuk mewakili Indonesia di seleksi film berbahasa asing terbaik di ajang Academy Award.

Sebagian besar sutradara yang mewarnai awal-awal kebangkitan film nasional hingga saat ini tetap eksis, namun seperti halnya bidang olah raga dan bidang lainnya, tentunya perlu regenerasi. Tongkat estafet kini mulai diserahkan ke para sutradara muda baik yang telah aktif berkiprah seperti Angga Dwimas Sasongko yang namanya semakin menanjak sejak menggarap Hari untuk Amanda (2010), Filosofi Kopi (2015), Surat dari Praha (2016); dan Ismail Basbeth dengan Mencari Hilal (2015), Another Trip To The Moon (2015), Talak 3 (2016); maupun yang baru memulai debut seperti Livi Zheng  dengan Brush with Danger (2015).

Di luar nama-nama tersebut di atas, sebenarnya Indonesia juga memiliki bibit-bibit unggul di bidang perfilman. Mereka masih belia, bahkan ada yang masih di bawah 20 tahun. Beberapa di antara bibit potensial tersebut telah meraih sejumlah prestasi, ada pula yang telah menemukan potensinya dan masih mengasah diri. Sementara itu ada sebagian lainnya tidak menyadari jika mereka menyimpan potensi tersebut atau tidak mengetahui cara untuk mengembangkan talentanya.

Saatnya pegang kendali. Sebuah prestasi, regenerasi ataupun kemajuan bisa direncanakan, termasuk di dunia perfilman nasional. Para sineas senior tidak bisa hanya berharap film Indonesia tetap eksis. Syukur-syukur kualitas filmnya masih terjaga dalam 1-2 tahun mendatang, namun bagaimana jika malah nyungsep dan memasuki era kegelapan lagi? Untuk memelihara keeksisan perfilman nasional juga meningkatkan kualitasnya, tentunya perlu dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah, institusi pendidikan, insan perfilman, dan tentunya masyarakat.

Sudah bukan eranya lagi mengagung-agungkan kalangan profesi tertentu atau mengandalkan sektor tertentu. Saat ini bidang kreatif turut berkontribusi dalam pendapatan suatu negara, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara. Perfilman adalah salah satu dari ekonomi kreatif unggulan. Tahun 2016 sendiri diperkirakan pendapatan kotor dari penjualan tiket mencapai Rp 1 Triliun dikarenakan 10 film yang dirilis tahun tersebut ditonton lebih dari satu juta penonton. Oleh karenanya ketika seorang anak bercita-cita menjadi penulis skenario, kameraman, pemeran film ataupun sutradara maka hal tersebut patut didukung oleh orang tuanya. Menjadi sineas film sama membanggakannya dengan profesi lainnya. Peluang berprestasi ke tingkat mancanegara juga besar.

Ada berbagai cara untuk mewujudkan impian menjadi insan perfilman, baik lewat jalur formal maupun informal. Untuk jalur formal maka generasi muda bisa masuk SMK ataupun perguruan tinggi yang membuka jurusan perfilman dan animasi. Di antaranya SMK Raden Umar Said di Kudus,  International Design School, Universitas Bina Nusantara, Institut Seni Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, dan Universitas Multimedia Nusantara.

Sedangkan jalur informal bisa didapatkan dengan mengikuti berbagai workshop dan komunitas film, selain tentunya juga berbekal imajinasi dan peka terhadap kondisi di sekeliling. Film yang beredar di masyarakat bukan hanya film fiksi, tapi juga bisa berupa film dokumenter dan juga film animasi. Imajinasi sendiri bisa diasah dengan banyak membaca, sering menonton berbagai film, dan keberanian menyampaikan gagasan.

Ajang kompetisi film pendek yang marak dihelat beberapa tahun terakhir bisa menjadi laboratorium para sineas muda untuk belajar, praktik dan mengasah kemampuan mereka, baik dalam hal mengutarakan gagasan maupun mengeksekusi ide tersebut menjadi film yang menarik. Ada banyak sutradara yang berangkat dari film pendek sebelum menggarap film layar lebar, contohnya Ifa Isfansyah dan Harry Dagoe Suharyadi.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Hasil dari ‘penggodokan’ tersebut mulai terlihat.  Saat ini mulai hadir sutradara muda berprestasi. Mereka adalah Aditya Ahmad dengan Sepatu Baru (2014) yang meraih Special Mention Award at Generation Section, Berlin International Film Festival 2014,Monica Vanesa Tedja dengan karyanya Sleep Tight, Maria (2014) yang memenangkan Festival Sinema Prancis 2015, Wregas Bhanuteja  yang meraih The Leica Cine Discovery Prize di Cannes Film Festival 2016 dengan Prenjak (2016), Tiara Kristiningtyas dan Mohammad Azri dengan penghargaan Best Cinematography di Global Short Film Awards 2016 untuk film tentang gempa Yogyakarta berjudul 05:55 (2016) dan masih banyak lainnya.

Oh iya ada satu lagi sutradara muda yang membuat Kalian berdecak kagum, yaitu Natasha Dematra, remaja kelahiran 9 April 1988. Ia meraih penghargaan sutradara perempuan muda dunia  dan masuk Museum Rekor Indonesia karena memulai karirnya sejak usia 11 tahun. Natasha telah menyutradarai empat film panjang Mama (2011), Aku Harus Pergi (2015), Tears of Ghost, dan Angel in America serta meraih lebih dari 30 penghargaan di bidang akting baik dari dalam negeri maupun mancanegara seperti perannya dalam I'm Star (2013) yang membuahkan penghargaan aktris terbaik dari Accolade Global Competition di Amerika.

Dari riwayat perfilman Indonesia tersebut, peran sineas muda memang tak bisa ditampik. Mereka berani, memiliki idealisme, dan kaya gagasan. Para sineas muda berbakat ini bisa hadir dimana saja, bukan hanya di ibukota. Mereka hanya perlu diberi wadah untuk belajar dan berpraktik, juga suntikan rasa percaya diri untuk mengeluarkan gagasan dan keberanian untuk berkompetisi dengan sineas muda dari mancanegara. Tekad dan semangat dari para sineas muda ini bisa menular sehingga bibit-bibit berpotensi dalam dalam dunia perfilman akan semakin bertumbuhan. Semangat kalangan sineas muda ini sama halnya dengan spirit yang digelorakan Danamon dengan campaign' Saatnya Pegang Kendali'

Apakah suatu saat piala Golden Globe atau Oscar bisa diraih para sineas Indonesia? Mimpi itu bisa diraih asal insan perfilman Indonesia konsisten untuk menghasilkan karya yang berkualitas dan mau terus memperbaiki diri.

Natasha Dematra si belia yang karya filmnya diakui mancanegara (sumber: urbannewsid.com)
Natasha Dematra si belia yang karya filmnya diakui mancanegara (sumber: urbannewsid.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun