Apalagi saat ini  eksplorasi minyak bumi lebih tertuju ke lepas pantai di laut dalam di bagian timur Indonesia dimana infrastrukturnya masih terbatas. Untuk itu bagi investasi hulu migas yang kiranya berisiko tinggi maka bisa dikelola oleh perusahaan asing yang telah berpengalaman. Sedangkan yang risikonya rendah hingga sedang, bisa dilakukan oleh perusahaan dalam negeri.
Untuk investasi hulu migas, pemerintah tidak mengeluarkan sepersen pun dari APBN. Oleh karena seluruh investasi selama masa eksplorasi ditanggung oleh investor sesuai kontrak bagi hasil di Indonesia.
Sedangkan ketika sumur di wilayah kerja sudah berproduksi dan dikomersialisasi maka negara akan menerima 85% dari keuntungan. Lantas bagaimana dengan aset? Peralatan dan sumur itu milik negara Indonesia. Setelah kontrak berakhir maka akan menjadi milik negara.
Hasil penjualan migas akan menjadi sumber pendapatan negara baik untuk pemerintah pusat maupun bagi pemerintah daerah dimana menjadi lokasi penghasil migas dalam rupa dana bagi hasil yang ditetapkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral.
Selain itu industri minyak memiliki multiplier effect di bidang lain. Jika 1 miliar diinvestasikan di industri hulu migas maka output ekonominya bisa 1,6 miliar, ada tambahan GDP 700 juta, serta tambahan pendapatan rumah tangga Rp 200 juta dan lapangan kerja 10 orang.
Tentang kekuatiran penyalahgunaan aset dan lain-lain, Taslim meminta masyarakat tidak kuatir karena SKK Migas bertugas melakukan pengawasan dan ada banyak lembaga negara yang melakukan monitoring dan audit dari BPK, BPKP, KPK, DPR dan DJP.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak mengeluarkan sepersen pun untuk berinvestasi di bidang migas. Namun saat ini memang sedang ada kelesuan dan investasi migas kurang menarik karena ada berbagai kendala. Tidak hanya kesulitan mencari investor saat lelang wilayah kerja migas, eksplorasi yang sudah berjalan pun juga ada yang dikeluhkan investor berjalan tidak mulus.
Kendala tersebut di antaranya wilayah kerja di bagian Timur Indonesia yang memiliki keterbatasan infrastruktur dan waktu eksplorasi yang lama, peraturan yang tumpang tindih, birokrasi perijinan yang rumit, juga tidak adanya otoritas tunggal untuk menyelesaikan sengketa di antara instansi pemerintah.
Untuk itu perlu dilakukan revisi terhadap PP 79/2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan migas. Pajak Bumi dan Bangunan pada masa eksplorasi sangat besar dan memberatkan, termasuk pajak impor barang, ujar Marjolijn. Selain itu oleh karena waktu eksplorasi di Indonesia semakin lama maka durasi kontrak perlu diperpanjang, juga perlu adanya kepastian hukum, kemudahan pengurusan perijinan, dan koordinasi fungsi terkait antara pusat dan daerah. Jika hal tersebut telah tertangani maka iklim investasi hulu migas akan mulai menarik bagi para investor dan kegiatan eksplorasi migas untuk mendapatkan cadangan migas baru dapat dilakukan.