[caption caption="Poster Film Bangkit (sumber: movie.co.id)"][/caption]
Sepanjang menonton film Bangkit yang tayang sejak Kamis (28/7), Â benak saya berpikir keras. Film tentang bencana alam yaitu banjir dan gempa ini bagi saya menarik karena menunjukkan bagaimana situasi yang bakal dihadapi warga Jakarta jika suatu saat mengalami banjir yang lebih dahsyat dibandingkan tahun 2007. Yang paling menyentil dari film ini adalah kesiapan pemerintah dan warga menghadapi bencana. Di dalam film ini pemerintah terlihat gagap dalam mitigasi bencana, membuat saya bertanya-tanya bagaimana sebenarnya realita kesiapan Pemda DKI dan instansi terkait dalam menghadapi bencana alam?
Film Bangkit bercerita tentang hujan deras yang terus melanda Jakarta. Curah hujan yang tinggi membuat sebagian wilayah mulai banjir. Addri (Vino G Bastian) sebagai anggota tim SAR merasa aneh dengan fenomena alam ini. Ia lalu bekerja sama dengan Arifin (Deva Mahenra), pegawai BMKG yang ditolongnya ketika terjebak banjir di parkiran basement.
Rupanya banjir yang dahsyat ini dikarenakan dampak badai musim dingin di Asia dan badai musim panas di Australia. Bukan hanya banjir besar yang siap menenggelamkan Jakarta, melainkan juga gempa bumi yang siap meluluhlantakkan jembatan dan bangunan ibukota.Â
Secara keseluruhan filmnya cukup bagus, apalagi ditunjang teknologi CGI dimana hal ini masih jarang digunakan di film nasional. Beberapa adegan yang menggunakan CGI memang masih kasar, tapi sebagai awalan saya rasa upaya sutradara, Rako Prijanto, ini patut diacungi jempol.
Dari segi akting, Vino G Bastian dan Putri Ayudya sebagai pasangan suami istri tampil prima. Acha Septriasa dan Deva Mahenra yang berperan menjadi pasangan kekasih yang batal menikah pun tidak mengecewakan.
Paragraf berikut ini mengandung spoiler.Â
Yang agak mengganggu dalam film ini adalah plot hole yang bertebaran, lokasi bencana alam yang terkesan pilih-pilih tempat, dan juga penanggulangan bencananya yang terkesan serampangan dan tidak terpadu.
Saya pernah merasakan dampak banjir tahun 2007, betapa chaos-nya Jakarta masa itu. Waktu itu tempat kos mati lampu dan air PAM pun mati, sehingga saya terpaksa mandi di kantor. Menuju kantor juga harus naik bajai karena genangan di beberapa tempat mencapai selutut. Di dekat RSI malah ada yang sampai semeter. Kawan yang bekerja di RS tersebut bercerita jika ia pulang dengan naik gerobak dengan tarif Rp 50 ribu.Â
Di kantor pun sepi karena banyak pegawai yang tidak bisa masuk kerja karena terhalang oleh banjir di berbagai tempat. Kantor pun kemudian memberikan dispensasi beberapa hari ke pegawai yang daerahnya terlanda banjir. Warung-warung dekat kantor tutup membuat saya harus bersiap bekal roti untuk makan siang, bus Trans Jakarta dan angkutan lainnya tidak terlihat karena di beberapa tempat banjir belum susut.Â
Sayangnya situasi kacau tersebut kurang terlihat di Bangkit. Hanya ada beberapa titik yang terkena banjir parah, selebihnya kering kerontang, membuat saya berpikir keras tentang peta banjir Jakarta. Begitu juga ketika ada bencana gempa, bencananya pun pilih-pilih tempat.Â
Oke, mungkin sutradaranya agak tergesa-gesa sehingga kurang memikirkan hal tersebut secara detail. Yang membuat saya lagi-lagi berpikir keras adalah mitigasi bencananya.
Rupanya pemikiran saya ini serupa dengan seorang blogger pengamat film bernama Raja Lubis, ia juga mengaku heran dengan mitigasi bencana dalam film ini dan bertanya-tanya sebenarnya bagaimana realitanya selama ini.Â
Dalam film tidak jelas kemana jalur evakuasi warga dan apa yang seharusnya dilakukan warga ketika terjadi bencana banjir dan gempa, apakah hanya berdiam di rumah dan menunggu bantuan atau menuju lapangan dan daerah tertentu?
Paragraf berikutnya sudah bebas spoiler.Â
Â
Dulu saat banjir 2007 dan kemudian banjir-banjir berikutnya yang juga besar, kami mengobrol bagaimana jika Jakarta yang sedang darurat banjir kemudian lengah dan diserang teroris atau negara lainnya. Hingga saat ini yang saya rasakan, meskipun Pemda DKI terus berupaya meminimalkan risiko banjir dengan pengerukan sungai dll, namun masih dilakukan dengan setengah hati. Masih ada bangunan yang berdiri di daerah resapan air juga perusahaan-perusahaan yang menggunakan air tanah secara masif. Juga belum ada sosialisasi hingga tingkat kelurahan, RW dan RT tentang mitigasi bencana, apa yang dilakukan warga jika terjadi bencana, kemana jalur evakuasi dan sebagainya belum pernah saya dapatkan.Â
Film Bangkit ini bukan hanya menggambarkan situasi kacau saat terjadi bencana alam, melainkan juga membuat penonton berpikir untuk bersiap-siap jika terjadi kemungkinan bencana alam. Bagi pemerintah, film ini bisa jadi intropeksi tentang strategi mitigasi bencana, jangan sampai terjadi lagi pompa air ngadat saat banjir dan sebagainya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI