Daging yang empuk dengan bumbu yang merasuk lalu dibakar dengan api perlahan-lahan. Matangnya pas, di sate yang saya ambil tidak ada bagian yang gosong. Rasanya agak mirip dengan sate komoh ala Malang cuma bumbunya tidak setebal di Malang dan lebih kering. Tapi sate ini memang nikmat. Teman-teman pun kompak menyebut sate daging ini lezat. Nilainya 8/10 Â karena yang 8,5 itu menurut saya lebih pas disematkan ke sate komoh khas Malang yang wajib dicicipi saat ke Malang.
Akhirnya setelah mengumpulkan nilai, juaranya adalah sop buntut dan sate daging. Makanan lain ada yang kurang sesuai selera saya dan rasanya biasa-biasa saja, tapi dua jenis masakan ini bisa dibilang juaranya.
Tapi ini pendapat lidah awam lho. Anggota KPK lainnya, bang Rahab dan mas Agung nampak anteng-anteng saja dan begitu menikmati makanan. Pak Sutiono Gunadi dan Mba Muthiah juga berkonsentrasi dengan makanan di piringnya. Sedangkan bu Ngesti sibuk mengedarkan matanya mencari tanda-tanda kopi hitam hangat yang merupakan kegemarannya.
Masakan bisa jadi istimewa karena tempat dan momennya. Dan saya rasa meski hanya dua di antara masakan lainnya yang berasa juara tapi karena momennya langka dan tempatnya istimewa, maka acara makan siang ini bagi saya pun jadi luar biasa.
Sambil mendengarkan para perwakilan kompasianer menyampaikan buah pikirannya, pikiran saya melambung ke masa lalu. Saya bayangkan pendiri bangsa asyik bercakap-cakap dengan pemimpin negara lain atau ketika empat sekawan pendiri bangsa membahas masa depan bangsa. Mereka riung mengobrolkan sop buntut dan sate daging yang lezat. Bumbune opo toh, cara masake koyok opo kok iso eco koyok ngene... (bumbunya apa dan cara masaknya seperti apa, kok bisa enak seperti ini?).
Ilustrasi gambar: santap siang sop buntut di sebuah acara di resto Jaksel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H