Mohon tunggu...
Demar Adi
Demar Adi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Suka menulis

Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Waktu yang Membentang Jarak

11 Agustus 2018   03:05 Diperbarui: 11 Agustus 2018   03:24 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Pagi menyapa begitu dingin. Raga yang lelah seolah enggan beranjak dari sisa lelap. Selimut  teronggok di ujung kaki akhirnya ditarik menutupi tubuh menggigil. Dering alarm seakan menjerit panik melihat waktu yang semakin dekat pada janji. Seketika mataku terbelalak kemudian megerjap berkali-kali sebelum menyadari waktuku nyaris terlewat.

Segera membersihkan badan dengan guyur dingin seakan membekukan aliran darah. Menghirup harum sampo favorit yang busanya meleleh hingga ke pundak. Serasa ingin berlama-lama menikmati sensasi segar ini. Hanya saat teringat waktu yang mendesak, memaksa diri menyudahi.

Secepat kilat berganti pakaian kemudian menyambar koper biru yang telah sejak semalam siap menemani perjalanan. Pulang. aku akan pulang. Kepada dekapan ibu. Menuju sapa hangat kota tercinta. Menikmati senyum manis kekasih yang telah lama dirindui.

*****************

Ternyata belum terlambat. Pesawat delay satu jam. Cukup untuk menikmati secangkir kopi dan sepotong brownies bertabur almond. Bertemankan novel yang sejak dua minggu lalu belum juga usai dibaca. Entahlah, biasanya dua hari saja sebuah novel setebal empat ratus sekian halaman rampung  kubaca walaupun disela kesibukan bagai tak berujung.

Sepertinya tak bakalan mampu membaca hingga halaman terakhir. Cerita dalam novel itu terlalu sedih. Tokoh utamanya seorang gadis yang merindu kekasihnya, pemuda ambisius yang pergi ke negeri jauh untuk menuntut ilmu. Alur melulu mengisahkan derita rindu yang entah kapan akan bertemu. 

Aku sampai pada bagian yang menggambarkan sang gadis merobek foto sepasang kekasih yang kini terpisah jarak itu. Dia telah berhenti menunggu semenjak menemukan bukti yang belum pasti benar bahwa  sang pemuda melirik hati yang baru. Aaah... cinta jarak jauh memang rawan prasangka.

**************

"Apakah kau masih layak kutunggu?" tanya kekasihku  melalui pesan yang terpampang di gawaiku

"Tentu saja. Aku akan pulang kepadamu," balasku saat itu.

Selanjutnya pesan berbalas diiringi emoticon bertabur daun waru. Aku bahagia, tetapi terselip juga ragu yang mengusik. Pulang kepadanya adalah sebuah kepastian. Namun, akankah dia ada di sana menyambut?

Dua tahun menahan deru rindu. Memeluk sepi di setiap ujung senja. Merintih menyesali sinyal gawai yang tak bersahabat hingga pembicaraan tersendat di ujung jalur. Terkadang bahkan wajahnya mengabur di tengah sebuah panggilan video. Aaah... cinta jarak jauh memang melelahkan.

********************

Langkah bergegas menaiki pesawat. Duduk dalam diam merapal doa. Memohon agar jarak segera menyempit untuk bertemu kekasih hati. Dua tahun telah melangkah menjauh demi sebuah impian. Meninggalkan kasih sayang yang nyaman sebagai sebuah pengorbanan cita-cita. Kini akhirnya aku akan pulang.

Seorang penumpang  lain duduk di sebelahku. Dari sorot matanya saat menyapa, kutahu dia sedang butuh teman mengobrol. Kusediakan telinga untuknya, walau otak dan hatiku serasa sudah sampai di kampung halaman. Mengkhayalkan menghirup harum rambut kekasihku.

"... Dia tega sekali, bukan?" tanya lelaki di sebelahku itu.

"Eh, ya. Saya juga merasa begitu," jawabku asal.

Kemudian panjang lebar lelaki itu meneruskan kisah sedihnya yang ternyata berakar pada pengkhianatan sang kekasih. Setelah cukup lama menjalani kisah cinta jarak jauh yang menentramkan, akhirnya bayangan sang kekasih mulai memudar. Gelagapan bagai hendak tenggelam, laki-laki itu berusaha meraih mendekap bayang sang kekasih. Memutuskan pulang segera, lebih awal dari seharusnya. 

Kemudian terhenyak mendapati gadis pujaan tersenyum di hari bahagia. Mengenakan kebaya putih bermahkotakan sanggul dengan untaian mawar dan melati. Bersanding dengan sahabat lelaki itu. Aaaah... satu lagi cinta jarak jauh berakhir tragis.

Batin semakin menjerit. Tak bisakah pesawat ini terbang lebih cepat? Kekasih menunggu di ujung perjalanan, tapi aku tak yakin dia mampu bertahan lebih lama. Kisah lelaki itu mirip dengan kisahku. Semoga tak berakhir sama.

**************

"Mas, rasanya aku tak mampu lagi menggenggam rindu. Sudah ingin  kuletakkan di sudut jembatan tempat kau janji akan menemuiku."

Saat itu aku hanya mampu terdiam. Hingga akhirnya kekasihku melanjutkan,

"Jarak telah memudarkan yang dulu indah. Melarutkan harapan temu yang tak  jua terwujud. Melukai sudut hatiku dengan semua prasangka tentangmu. Aku lelah, Mas."

"Tunggu, aku pulang sebulan lagi." Akhirnya aku mampu menjawab, sebelum gangguan sinyal pada gawai kami kembali memutuskan komunikasi.

***************

Tinggal dua puluh menit lagi aku akan berjumpa dengannya. Merasai degup jantungnya yang kuyakin sama detak denganku. Menghirup dalam-dalam  wangi rambutnya. Meremas genggam erat tangan lembut yang selama ini mengetik pesan rindu padaku.

****************

Akhirnya kami berhadapan dalam jarak yang hanya sehasta.

Kejora rindu masih bermain di mataku saat dia bertanya,

"Mas akhirnya pulang. Namun, akankah pergi lagi?"

"Aku harus. Apa yang kurintis di sana belum selesai," jawabku.

"Jika Mas meninggalkan aku lagi, maka aku akan menyerah."

Diangsurkannya kalung berbandul waru berisi foto kami berdua yang kukirimkan enam bulan lalu.

"Adakah orang lain?" tanyaku menahan perih.

"Tidak. Aku hanya mencintaimu. Namun, cinta ini terlalu besar untuk kutanggung. Prasangka selalu memeluk erat  setiap pesan tak berbalas. Aku hanya ingin mendekap erat cintaku padamu tanpa khawatir kehilangan. Hanya dengan melepasmu, Aku akan memilikimu selamanya."

Aku terdiam. Tak mengerti jenis cinta posessif yang dia rasa. Melepas untuk memiliki selamanya. Sebesar itukah cintanya? Aaaaah... cinta jarak jauh ini, akhirnya melumpuhkanku.

Memandang punggung yang menjauh pergi. Sesak menemani sepi yang tiba-tiba menyergap. Jerit lara dalam hati tak mampu menjangkau ruang dengarnya. Dia tak jua menoleh, ataupun berbalik untuk  memelukku. Hanya melangkah di jalan yang telah dia pilih. Kulihat isak mengguncang bahunya . Namun, tanganku tak bisa menjangkau. Jarak kali ini lebih jauh dibandingkan jarak dua negara yang selama ini membentang di antara kami.

Tenggarong, 10 Agustus 2018

De Maharani

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun