Mohon tunggu...
Dewi Silitonga
Dewi Silitonga Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

http://bit.ly/SehatAlamiKeluarga

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pengalamanku Menjadi Saksi di Sidang Perceraian

8 Juni 2019   12:54 Diperbarui: 20 April 2021   08:02 19113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua bulan lalu teman saya meminta saya menjadi saksi di sidang perceraiannya. Awalnya saya menolak, apalagi di agama saya hanya mengenal cerai mati. Tetapi dengan mendengarkan berbagai alasan yang dia kemukakan akhirnya saya mengiyakan dengan catatan saya hanya menjawab yang saya tahu saja.

Saya mengenalnya sudah 4 tahun, dan sejak itu setahu saya dia hanya tinggal berdua dengan putrinya saja di kamar kos sebelah kamar saya.

Hari persidangan tiba, kami berangkat bersama ke pengadilan agama. Kami duduk di ruang tunggu menunggu jadwal. Ramai. Ternyata yang mengurus perceraian banyak juga. Saya sebagai saksi ke 2.

Teman saya dipanggil ke ruang sidang, sementara saya masih menunggu di luar. Di sebelah saya ada seorang ibu yang sedang menangis. Saya senyum saat dia melihatku.

"Mau cerai juga?"

"Bukan. Saya saksi saja. Teman saya yang mau cerai sudah di dalam"

"Oh, teman mbak yang mau jadi janda batam?

Saya bengong. Janda Batam? Terdengar seperti sebuah pencapaian atau prestasi.

"Mbak penggugatnya ya"

"Iya, ini sidang pertama saya"

"Suami di mana mbak? Datangkah?"

"Nggak mbak. Suami saya tak tau dimana. Sudah 2 tahun tidak ada kabarnya. Saya menggugatnya pake surat goib"

Baca Juga: Dapatkah Istri Mengajukan Gugatan Cerai ke Pengadilan Secara Diam-diam?

Kemudian terdengar nama saya dipanggil. Saya pamit dan masuk ruang sidang. Dalam ruang sidang ada 4 orang pakai jubah di depan, penggugat, 2 orang saksi saja, dan 1 orang yang saya tidak tau jabatannya apa. Yang saya lihat dia tidak ada kursinya. Jadi hanya 8 orang saja.

Hakim membacakan nama kami yang sebelumnya sudah dituliskan di sebuah formulir. Hakim menanyakan agama dan kesediaan menjadi saksi sebelum pengambilan sumpah. Saksi 1 beragama Islam diambil sumpahnya terlebih dahulu. Kemudian saya. 

Sesorang bapak mengambil alkitab datang berdiri di samping saya. Saya langsung mengambil sikap pengambilan janji meletakkan tangan kiri saya di atas alkitab dan tangan kanan ke atas dengan 2 jari membentuk victory. Eh, si bapak bilang,"pegang sendiri saja alkitabnya bu". Ternyata petugas di sana beragama Islam. 

Bapak di pojok kanan membimbing saya saat pengambilan janji. Saya cukup mengulangi saja setelah dia. Berbeda dengan saksi pertama yang sekali bersumpah lancar dan selesai. Pengambilan janji ini agak ribet mungkin karena hakimnya tidak terbiasa.

"Demi Allah saya bersumpah".

"Saya tidak mau bersumpah pak".

"Oke. Saya ganti, ya. Pakai Tuhan. Demi Tuhan saya bersumpah".

"Saya tidak mau pak".

"Oh, iya. Berjanji, ya. Demi Tuhan saya berjanji...".

Pengambilan janji selesai, yang kurang lebih bunyinya bahwa saya akan menyampaikan tidak lain tidak bukan hanya kebenaran.

Pertanyaan hakim seputar sudah berapa lama kenal penggugat dan keluarganya, apakah sering mendengar pertengkaran atau cekcok, apa yang diributkan, apakah pernah memberi saran untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Tanya jawab ini hanya sekitar 10 menit, kemudian saksi dipersilahkan keluar.

Sekitar 15 menit kemudian teman saya keluar dari ruang sidang berurai air mata. Saya suruh duduk di samping saya. 

"Gimana keputusannya"

"Udah talak"

"Mengapa nangis, aku bingung nih, mau nyelamatin tapi kamu nangis"

"Aku senang sebenarnya statusku sudah jelas. Tapi sedih juga, langsung terbayang tadi momen bersamanya. Waktu kami nikah. Masa masa senang. Tak pernahlah terpikir akhir rumah tanggaku begini".

Saya mengalihkan pembicaraan. Ke kantin makan. Ngobrol ngolor ngidul. Sudah sejam air matanya masih ngalir juga

"Apa yang kamu rasakan"

"Nggak tau. Kosong"

"Kalau gitu kita pulang saja"

Pesan gocar. Pulang. Semoga semua lancar kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun