Mohon tunggu...
dewi sartika
dewi sartika Mohon Tunggu... Wiraswasta - ig : dewisartika8485

penyuka sejarah, travelling, kuliner, film dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Sore di Karimata

4 September 2023   12:55 Diperbarui: 4 September 2023   14:27 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emak berharap, kamu segera pulang. Pernikahanmu sudah ditentukan. Dua bulan lagi sejak surat ini dikirim. Ini demi kebaikanmu, Halimah ....

Tangan Halimah meremas erat surat yang baru dibacanya. Sesaat, ia terdiam berusaha menurunkan gemuruh dalam hatinya. Kalimat terakhir yang baru saja ia baca sungguh menyesakkan hati gadis berkepang dua ini. Sebuah perjodohan yang tak mungkin ditolaknya di saat ia sedang merangkai impian untuk hidup di tanah Jawa.

Kertas surat kini sudah berpindah, mengapung di air seiring dengan Karimata yang semakin menjauh. Halimah membersihkan sisa air matanya dengan saputangan putih dengan hiasan bunga pada salah satu bagian pinggirnya. Sejenak, kedua tangannya berpegangan pada pembatas dek. Sekali lagi, hatinya masih terasa sesak. Beberapa kali Halimah menghela napas panjang sebelum melangkah pelan meninggalkan dek. Perempuan itu memutuskan beranjak meski pemandangan semburat jingga menyeruak di antara langit-langit yang berlipat sungguh menggoda untuk dilihat.

"Maaf Nona ... "

Kaki Halimah terhenti begitu suara terdengar dari belakang. Gadis dengan alis hitam tebal itu memutar tubuhnya. Ia tak terkejut ketika mendapati seorang lelaki memanggil. Halimah ingat, sejak ia berada di dek, lelaki ini sudah ada di sana terlebih dahulu. Ia melewatinya ketika berhenti pada bagian tepi dek, tak jauh dari lelaki dengan tatanan rambut rapi nan mengkilap itu.

"Bukankah ini milik, Nona?"

"Ha-limah." Lelaki itu tampak mengeja sebuah tulisan yang yang berada pada satu sisi saputangan yang sedang dipegangnya. Tangan kanannya maju ke depan hendak mengembalikan saputangan tersebut.

Raut muka Halimah bersemu merah. Ah, saputangan itu! Bagaimana bisa ia tak sadar telah menjatuhkannya tadi. Bergegas ia mendekati pemuda dengan kemeja putih, senada dengan celana panjang yang dipakainya.

Ragu-ragu, tangan Halimah terulur untuk menerimanya. "Terima kasih, Tuan ...."

"Arnold Lasut, Nona." Lelaki itu memberitahu namanya saat menyerahkan saputangan milik Halimah.

"Maaf, Tuan Lasut. Bukan maksud saya untuk tidak menghormati, Tuan." Halimah menerima kembali saputangannya.

"Sungguh aneh mendapati Nona Halimah seorang diri di sini, menangis pula. Apa Nona ada masalah?" selidik Arnold dengan tatapan heran.

Jantung Halimah seketika berdegup kencang. Sama sekali ia tak menyadari jika lelaki di hadapannya ini begitu memperhatikan tindak tanduknya dari tadi. Halimah mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sepi. Hanya ada dirinya dan Arnold di tempat ini. Beberapa penumpang memang sedang menikmati senja tetapi jarak mereka cukup jauh dari tempat mereka berdua berdiri.

Halimah enggan menjawab. Sesungguhnya, ia sama sekali tak menyukai pertanyaan orang yang baru dikenalnya ini. Terlalu ingin tahu! Begitu keluhnya dalam hati.

"Oh ... maafkan saya jika saya terlalu lancang. Nona Halimah. Tak ada maksud dari saya untuk ikut campur. Hanya saja ... " Arnold menggantung ucapannya.

Perempuan berdarah Melayu itu masih menunggu Arnold melanjutkan kalimatnya. "Hanya saja apa, Tuan Lasut?" Tak sabar Halimah menunggu hingga bertanya kepada lelaki bertubuh tegap di depannya.

"Hanya saja, saya tidak dapat menahan keingintahuan saya. Mungkin karena saya seorang pewarta sehingga selalu ingin tahu tentang orang lain. Jadi saya berharap, Nona Halimah dapat memahami maksud saya."

Arnold Lasut dan Halimah saling berpandangan. Embusan angin yang sedikit kencang membuat beberapa helai rambut Halimah pada bagian depan agak berantakan. Bertemu dan berbicara dengan Arnold Lasut membuatnya lupa dengan tujuannya semula saat meninggalkan dek yaitu kembali ke kabin. Ia merasa menemukan teman bicara yang sepertinya menyenangkan.

"Maaf, Nona Halimah, bisakah kita pergi dari sini? Saya takut jika kita berbicara di sini tanpa menyadari langit mulai gelap."

Halimah mengangguk. Mereka berjalan beriringan meninggalkan dek.

"Tuan Lasut tadi bilang seorang pewarta, apakah ke Medan hendak mencari berita?"

"Saya sedang pindah tugas. Sebelumnya bekerja di Batavia Nieuwsblad," jawab Arnold singkat.

Halimah menghentikan langkah. Dahinya mengkerut begitu Arnold memberitahu dimana dia bekerja. "Bukankah hanya orang-orang Eropa saja yang menjadi wartawan di sana, Tuan Lasut?"

Dahi Arnold mengernyit. Tak sepenuhnya benar apa yang dikatakan Halimah. Memang, posisi atas seperti kepala editor dan pimpinan redaksi banyak dijabat orang-orang keturunan. Namun menurut Arnold, hal itu wajar. Bagaimanapun Batavia Nieuwsblad didirikan orang Belanda.

"Dari mana Nona mendapat pikiran seperti itu? Jika menurut Nona Halimah seperti itu, maka anggap saja saya sedang beruntung," terang Arnold sambil terkekeh. Sengaja ia melakukannya, bermaksud menggoda lawan bicaranya itu. Mereka berdua baru kenal tetapi entah kenapa, Arnold merasa senang berdekatan dan berbicara dengan perempuan ini.

Sayangnya, Halimah tidak menyukai wajah ceria yang baru saja Arnold tunjukkan. Kepalanya menunduk untuk menyembunyikan ketidaksetujuannya atas sikap lelaki lelaki di dekatnya. Ia mempercepat langkah tanpa memperdulikan Arnold. Bagaimana bisa Arnold Lasut memberikan jawaban asal seperti tadi? Pikir Halimah.

"Tunggu, Nona Halimah."

Arnold bergegas menyusul Halimah yang berada di depannya beberapa langkah.

"Baiklah, maafkan saya. Saya bisa bekerja di sana dengan status magang. Maksudnya, saya mengenal beberapa orang di Batavia Niuewsblad sehingga bisa menjadi bagian dari koran itu meski hanya berupa pewarta magang," jelasnya dengan nada serius. Wajahnya tak lagi tersenyum maupun tertawa. Arnold berpikir jika Halima adalah jenis orang yang tidak bisa diajak melucu.

"Ada separuh darah Belanda dalam tubuh ini, Nona. Mungkin hal inilah yang membuat jalan saya menuju Batavia Nieuwsblad agak mudah. Saya berharap Nona Halimah juga tidak berpikir pewarta adalah pekerjaan mudah," sambung Arnold dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana panjang.

"Pewarta adalah orang-orang pintar sekaligus pemberani, termasuk Tuan Lasut juga," puji Halimah

Pujian Halimah membuat Arnold tersenyum masam. Lelaki berkulit cerah itu membenarkan ucapan perempuan di sampingnya. Orang-orang yang bekerja di koran adalah orang terdidik. Tidak semua memang. Namun setidaknya, pewarta termasuk golongan itu. Jalan untuk menjadi orang pintar pun-seperti yang dibilang Halimah, tak mudah. Meskipun Arnold Lasut menguasai Bahasa Belanda dan berpendidikan tetapi ia masih ingat kejadian beberapa waktu lalu. Kepala editor memakinya habis-habisan hanya karena kesalahan penulisan nama.

"Koran Tuan Lasut hanya sebagian golongan saja yang menikmati terutama orang-orang keturunan." Halimah menambahkan kembali pendapatnya tentang Batavia Nieuwsblad.

Di telinga Arnold, ucapan Halimah terdengar seperti sindiran. "Apa hanya karena banyak orang-orang keturunan yang berada di atas hingga Nona Halimah berani berkata seperti itu?" Lelaki Minahasa tersebut menghentikan langkahnya.

Halimah mengangguk. Melihat raut wajah Tuan Lasut saat ini, Halimah merasa tak enak. Jelas sekali jika teman barunya sepertinya tidak menyukai ucapannya. "Maaf, saya lupa jika Batavia Nieuwsblad juga sering mengecam pemerintah kolonial," ucapnya.

"Nah, jangan lupakan itu. Masih banyak orang keturunan yang peduli dengan Hindia seperti Douwes Dekker. Saya benar-benar menaruh hormat kepadanya."

Arnold Lasut berjalan melewati Halimah yang masih berdiri di tempatnya. Baru beberapa langkah ia berjalan kemudian berhenti lagi. Pemuda berhidung mancung tersebut menoleh ke belakang. Matanya menangkap sosok Halimah yang terpaku sendirian.

"Ayo! Apa Nona Halimah akan berdiri seterusnya di situ?" panggil Arnold dengan suara keras.

Mendengar teriakan lelaki itu membuat Halimah tersadar dari lamunannya. Sejak tadi ia memang memikirkan perkataan Tuan Lasut. Setiap kata yang keluar dari mulut lelaki itu membuat Halimah tersadar kalau baru kali ini ia menemukan orang yang mampu mengimbangi pembicaraannya. Bagaimanapun, Halimah termasuk perempuan terdidik. Kebetulan ia memang berminat terhadap dunia yang sedang digeluti Arnold Lasut. Hanya saja, kesempatan itu tak pernah bisa diraihnya.

Mereka berdua melangkah kembali. Sebuah lorong panjang dengan kabin yang berada di kanan kiri satu per satu mereka lalui. Halimah berhenti tepat di depan sebuah pintu. "Terima kasih atas sore yang sangat berharga ini, Tuan Lasut. Saya senang sekali bisa berbicara dengan, Tuan."

"Medan, bukan? Apakah sesampainya di sana, kita bisa bertemu kembali?" tanya Arnold Lasut dengan cemas. Sejujurnya, ia sangat menikmati pembicaraan mereka berdua. Dalam hati, ia mengutuk mengapa baru hari ini ia bertemu dengan Halimah. Tiga hari, Karimata berlayar, mengapa Tuhan baru mengizinkan sore ini mereka berjumpa. Padahal, Karimata tak terlalu besar, pikirnya.

Halimah terdiam cukup lama lalu menggeleng.

Wajah cemas Arnold seketika berubah redup. Sebuah jawaban yang sama sekali tak diharapkannya. Halimah menolak. Sejenak, sepasang manusia berlainan suku itu terdiam dalam pikiran masing-masing. Ada desiran hati yang hendak mereka sembunyikan. Sembari menerima goresan takdir yang bersiap memisahkan kebersamaan mereka berdua.

"Ini ... terimalah, Ha-limah." Arnold mengeluarkan sesuatu dari saku celana kemudian mengulurkan tangannya.

Halimah menengadah. Ia berusaha memastikan indra pendengarannya tak salah dengar saat lelaki ini memanggil namanya. Terdengar lebih akrab, pikirnya. Matanya tertuju ke sebuah benda berwarna putih polos.

Agak ragu, Halimah menerimanya. 'AZL?'

Bola mata Halimah terbelalak saat menemukan tiga huruf berukuran kecil yang terukir dengan warna hitam pada salah satu ujung saputangan yang dipegangnya.

Melihat raut muka Halimah, Arnold seakan-akan mengerti rasa heran yang ditunjukkan perempuan tersebut. "Arnold Zacharias Lasut," ucapnya pelan.

"Selamat tinggal." Arnold Lasut mengucap setelah cukup lama mereka saling berpandangan.

Halimah memandang pemberian Arnold dengan syahdu. Secuil penyesalan timbul di hatinya karena menolak ajakan lelaki itu untuk bertemu. Berandai-andai jika ibunya tak memerintahkannya untuk pulang. Namun, jika dirinya tak pulang bisa saja ia tak bertemu Arnold. Mendesah cukup lama, Halimah akhirnya memanggil sang pewarta.

"Tunggu, Tuan Lasut!"

Halimah menghampirinya. Kini mereka kembali berhadapan. Arnold bergeming menunggu Halimah mengatakan sesuatu. "Terimalah, tak elok rasanya jika Tuan memberikan ini untuk saya tetapi saya tidak membalasnya," ucap Halimah sembari menyodorkan saputangannya.

Tanpa berpikir panjang, Arnold langsung menerimanya. "Terima kasih. Selamat tinggal, Nona Halimah," pamitnya lalu berjalan memunggungi perempuan itu kembali.

Tepat  keesokan hari, Karimata merapat di Pelabuhan Belawan. Tepatnya jam sepuluh lebih lima pagi. Satu per satu penumpang mulai menuruni tangga Karimata termasuk Halimah. Menginjak daratan kembali, perempuan yang tampak cantik dengan baju selutut dengan lipitan-lipitan pada bagian bawah perut berdiri dengan sebuah koper berada di samping. Sepasang matanya melihat-lihat sekeliling.

"Apa Nona Halimah sedang mencari seseorang?" tanya  seorang perempuan berumur empatpuluh lima tahun yang menemani perjalanan majikannya itu dari Tanjung Priok menuju Medan.

Halimah menggeleng.

"Sebaiknya kita menunggu di sana, Nona. Siapa tahu mobil telah menunggu kita."

Halimah menuruti ucapan perempuan itu dan berjalan ke tempat yang akan mereka tuju. Seperti tadi, ia tetap mengedarkan pandangan ke kanan kiri seakan-akan mencari seseorang.

Tanpa Halimah sadari, sejak tadi Arnold Lasut berdiri di belakangnya. Terhalang oleh hilir mudik orang yang lewat di hadapannya. Arnold Lasut sengaja menyembunyikan sebagian tubuhnya dibalik sebuah truk pengangkut barang. Tangannya memegang saputangan Halimah. Ia menatapnya cukup lama sembari mengingat perkataan seorang sahabatnya di Batavia.

"Jika kamu suka seorang, beri saja saputangan sebagai tanda cintamu. Lalu saat kalian putus, kalian berdua bisa saling bertukar saputangan sebagai kenang-kenangan akan kisah cinta kalian tak tak sampai," ucap sahabatnya kala itu.

Arnold tersenyum kecil mengingatnya. Saputangan yang digenggamnya segera dimasukkan ke saku celana. Kini, ia hanya berharap Tuhan berbaik hati untuk mempertemukan kembali dengan perempuan pemilik saputangan tersebut. Bertemu tanpa sengaja, tentunya. Arnold Lasut mengenakan topi bambunya dan berjalan menjauhi Karimata.

Keterangan :

Batavia Nieuwsblad adalah surat kabar yang didirikan P. A. Daum pada 1885 dan bertahan samapai 1957. Salah satu surat kabar terbesar dan maju pada masanya. Kantornya berada di Batavia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun