"Maaf, Tuan Lasut. Bukan maksud saya untuk tidak menghormati, Tuan." Halimah menerima kembali saputangannya.
"Sungguh aneh mendapati Nona Halimah seorang diri di sini, menangis pula. Apa Nona ada masalah?" selidik Arnold dengan tatapan heran.
Jantung Halimah seketika berdegup kencang. Sama sekali ia tak menyadari jika lelaki di hadapannya ini begitu memperhatikan tindak tanduknya dari tadi. Halimah mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sepi. Hanya ada dirinya dan Arnold di tempat ini. Beberapa penumpang memang sedang menikmati senja tetapi jarak mereka cukup jauh dari tempat mereka berdua berdiri.
Halimah enggan menjawab. Sesungguhnya, ia sama sekali tak menyukai pertanyaan orang yang baru dikenalnya ini. Terlalu ingin tahu! Begitu keluhnya dalam hati.
"Oh ... maafkan saya jika saya terlalu lancang. Nona Halimah. Tak ada maksud dari saya untuk ikut campur. Hanya saja ... " Arnold menggantung ucapannya.
Perempuan berdarah Melayu itu masih menunggu Arnold melanjutkan kalimatnya. "Hanya saja apa, Tuan Lasut?" Tak sabar Halimah menunggu hingga bertanya kepada lelaki bertubuh tegap di depannya.
"Hanya saja, saya tidak dapat menahan keingintahuan saya. Mungkin karena saya seorang pewarta sehingga selalu ingin tahu tentang orang lain. Jadi saya berharap, Nona Halimah dapat memahami maksud saya."
Arnold Lasut dan Halimah saling berpandangan. Embusan angin yang sedikit kencang membuat beberapa helai rambut Halimah pada bagian depan agak berantakan. Bertemu dan berbicara dengan Arnold Lasut membuatnya lupa dengan tujuannya semula saat meninggalkan dek yaitu kembali ke kabin. Ia merasa menemukan teman bicara yang sepertinya menyenangkan.
"Maaf, Nona Halimah, bisakah kita pergi dari sini? Saya takut jika kita berbicara di sini tanpa menyadari langit mulai gelap."
Halimah mengangguk. Mereka berjalan beriringan meninggalkan dek.
"Tuan Lasut tadi bilang seorang pewarta, apakah ke Medan hendak mencari berita?"