Selesai membaca Menjadi Tjamboek Berdoeri, buku ini langsung mendapat tempat di hati saya alias menjadi salah satu buku favorit yang pernah saya baca. Saya kemudian berandai-andai, andai saja buku ini menggunakan ejaan masa kini serta memakai Bahasa Indonesia seluruhnya, tentu isinya lebih mudah dimengerti.
Namun, saya memahami, penerjemah Ben Anderson dan Arief W Djati, dua orang yang berjasa sehingga buku ini ada, pastilah mempunyai pertimbangan khusus mengapa tetap mempertahankan keorisinilan tulisan-tulisan Kwee Tjiam Tjing.
Meskipun sempat mengalami kesulitan, membaca buku ini sesuai aslinya membuat saya juga turut terbawa suasana tempo dulu. Yang pasti, saat Kwee bercerita di mana ia bersekolah, setidaknya saya mengetahui di mana tempat ia bersekolah dulu. Bagaimana saya tahu?
Juni lalu, saya pernah mengikuti tur heritage dengan rute-rute yang dilalui adalah lokasi bekas berdirinya sekolah-sekolah pada era kolonial.
Begitu juga sewaktu Kwee menceritakan bagaimana tanpa rasa takut ia berjalan-jalan melewati Kayutangan, Kota Lama dan beberapa tempat lainnya sebelum Tragedi Mergosono terjadi, saya pun membayangkan bagaimana tempat-tempat itu dahulunya.
Selain mampu membawa saja berimajinasi tentang kondisi Malang tempo dulu, buku ini juga mampu membuat saya tersenyum sendiri saat membacanya. Bagaimana tidak, Kwee banyak menulis banyak pengalaman lucunya semasa hidup.
Kembali lagi, andai saja buku ini ditulis dengan Bahasa Indonesia secara penuh, bisa jadi orang-orang akan menganggap buku ini sebagai buku komedi alias hiburan mengingat Kwee mampu menuliskannya dengan cerdas.
Sementara kekurangan buku ini adalah, bahasannya yang tak runut sesuai timeline peristiwa membuat saya terkadang harus bolak-balik melihat tulisan-tulisan di awal buku.
Sedangkan nilai plus lainnya, buku ini juga memuat tulisan Kwee yang berisi pelajaran hidup yang bisa diambil hikmahnya serta masih sangat relevan dengan kehidupan masa kini.
Hal lain yang saya sukai dari buku ini adalah setelah serangkaian cerita hidupnya mulai dari masa kolonial, pendudukan Jepang, dan perang kemerdekaan, Kwee menutup kisah dengan kehadirannya di Lapangan Koningsplein (Lapangan Merdeka) pada 29 Desember 1949. Duduk bersila bersama rakyat Indonesia lainnya termasuk Nyonya S Wardojo (Kakak Bung Karno), ia menyaksikan langsung upacara penyerahan kedaulatan Hindia Belanda dari perwakilan Belanda kepada Sri Sultan Hamengkubuwono yang mewakili Republik Indonesia. Ia menjadi saksi mata turunnya bendara tiga warna yang telah bercokol ratusan tahun berganti dengan merah putih.
Yang jelas Menjadi Tjamboek Berdoeri, Memoar Kwee Thiam Tjing ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca terutama bagi yang ingin mengetahui kondisi Kota Malang tempo dulu.