Saya masih ingat betul sekitar pertengahan tahun 2020 lalu. Saat itu sebuah artikel menarik minat saya untuk membacanya. Dalam artikel tersebut membahas tentang sosok Kwee Thiam Tjing. Tanpa pikir panjang, saya langsung membelinya di marketplace. Sejujurnya, saya penasaran dengan buku itu dan tak sabar membacanya. Namun, begitu tiba, wajah semringah saya seketika pudar berganti menjadi pertanyaan, bisakah saya menyelesaikan buku ini?
Ya, buku Menjadi Tjamboek Berdoeri, Memoar Kwee Thiam Tjing ini menggunakan Bahasa Indoensia ejaan lama plus bahasa slang daerah dan Bahasa Belanda.
Saya memaksakan diri untuk membacanya meski sejujurnya saya tidak paham betul apa yang dikisahkan di kata pengantar yang ditulis James T Siegel, guru besar sekaligus antropolog di Universitas Cornell.
Hanya sekitar 50 halaman saja saya sanggup membacanya. Saya berpikir butuh konsentrasi tinggi dan waktu luang untuk benar-benar bisa memahami isinya.
Tiga tahun saya menganggurkan buku tersebut. Baru Juli lalu sewaktu menemani anak saya yang sedang dirawat di RS akhirnya saya bisa menuntaskan Menjadi Tjamboek Berdoeri.
Tjamboek Berdoeri sendiri merupakan nama pena Kwee Thiam Tjing ketika menjadi kolumnis untuk Pewarta Soerabaja tahun 1924.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Kwee Tjiam Tjing berisi pengalaman semasa hidupnya yang pernah terbit di harian Indonesia Raya milik Muchtar Lubis.
Rencananya, tulisan-tulisan Kwee ini akan dibukukan, tetapi keburu Indonesia Raya dibredel pasca Peristiwa Malari.
 Kwee Tjiam Tjing: Jurnalis 3 ZamanÂ
Nama Kwee Tjiam Tjing sangat asing di telinga saya. Bagaimana tidak cerita sejarah tentangnya tak pernah disinggung sama sekali dalam pelajaran sekolah. Nasibnya serupa dengan tokoh-tokoh lain yang senyap dalam cerita perjuangan Indonesia. Padahal, meski beretnis Tionghoa, rasa nasionalismenya sangat tinggi.