Terkait klewang ini, ada kejadian yang menimpa Kwee. Suatu waktu, ia bersama teman-temannya dengan berseragam lengkap menonton film di bioskop Emma yang berada di depan Klenteng Eng An Kiong.
Namun, karena kesulitan duduk, ia terpaksa melepaskan klewang lalu menaruhnya di bawah kursi. Sayangnya, saat pulang, ia lupa mengambil kembali klewangnya (hal 88).
Sewaktu Jepang masuk ke masuk ke Hindia Belanda juga tak luput dari pengamatan Kwee. Ia menulis hari jempol di mana pada 8 Maret 1942, serdadu Jepang mulai memasuki Malang. Ia menyaksikan sendiri di depan Stasiun Kota Lama bagaimana iring-iringan serdadu Jepang menaiki kendaraan sembari berteriak 'Bansai' dengan mengacukan jempol ke atas serta bagaimana orang-orang bersuka cita menyambut kedatangan saudara tua.
Cerita menarik lainnya juga Kwee ceritakan bagaimana berseri-serinya wajah seorang Madura yang menjual ayam di Pasar Besar Malang yang menjajakan dagangannya kepada tentara Jepang yang lewat. Si pedagang mengira ia akan untung banyak saat menjual ayam-ayamnya, air mukanya pun seketika menjadi keruh saat ia hanya menerima satu rupiah saja (hal 155).
Selain kisah-kisah semasa pendudukan Jepang di Malang, Kwee Tjiam Tjing juga menceritakan dengan detail sebuah peristiwa yang tak banyak diketahui orang Malang saat ini, Tragedi Mergosono.
Peristiwa ini sendiri terjadi pada Juli 1947 saat segerombolan pemuda membunuh orang-orang Tionghoa yang dianggap sebagai mata-mata Belanda.
Dalam buku ini, Kwee menyebut dengan jelas siapa dalang dari Tragedi Mergosono, yaitu Pramoe, bekas anak buahnya sewaktu di di stadswacht.
Sebelum peristiwa pembunuhan itu terjadi, Kwee sendiri bertemu dengan Pramoe dekat Tiong Hoa Ie SIa (sekarang menjadi RS Panti Nirmala) dengan maksud mengambil sanak familinya yang diamankan gerombolan Pramoe.
Sebenarnya Kwee juga hendak menjemput orang-orang yang dibawa laskar pimpinan Pramoe ke Mergosono, tetapi ia urungkan karena mendapat firasat tak enak. Hingga akhirnya, Kwee mendapat kabar bahwa orang-orang itu dibunuh lalu mayatnya dibakar.
Lima hari kemudian, ia pergi ke Mergosono kemudian mendapati tanah gundukan di sebuah tegal yang menjadi tempat peristirahatan terakhir para korban. Di situ pula, didirikan tugu peringatan oleh masyarakat Tionghoa untuk mengenang kejadian tersebut.
Kesimpulan