Berbicara tentang kenangan masa kecil saat Ramadan, tentu saja saya juga memilikinya.
Saya berasal dari sebuah desa di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Setidaknya hingga akhir penghujung 90-an saya tinggal di desa sebelum hijrah ke Malang untuk melanjutkan pendidikan di bangku SMU.
Sebagai anak desa, saya  menghabiskan masa kecil di tempat kelahiran saya yang berada di pesisir. Kala itu, tentu saja teknologi belum secanggih sekarang. Tak ada gadget maupun internet seperti saat ini.
Kehidupan masyarakat desa saya bisa dibilang religius terutama di bulan Ramadan. Salah satu penandanya, keberadaan beberapa TPA (Tempat Pendidikan Alquran)di desa. Namun, ketika Ramadan, aktivitas belajar mengajar diliburkan. Sebagai gantinya, selama Ramadan, kami--para santri--wajib mengikuti tadarus.
Dalam KBBI, tadarus diartikan sebagai pengajian Alquran secara bergiliran atau mengaji Alquran. Memang, tempat tadarus sendiri dilakukan di rumah anggota kelompok secara bergiliran.
Kegiatan tadarus ini diikuti beberapa kelompok yang terdiri dari sejumlah santri (perempuan). Para santri dikelompokkan berdasarkan kedekatan rumah. Ya, meski bisa dikatakan rumah saya dan beberapa anggota lain tidak bertetangga secara langsung alias berjarak sekian meter. Biasanya, per kelompok berjumlah sekitar sepuluh orang.
Tadarus dilakukan malam hari. Tepatnya setelah salat tarawih. Kalau mengingat tadarus waktu itu, jujur saja, saya terkadang senyum-senyum sendiri. Bagaimana tidak, ketika itu apalagi saat malam (sesudah isya), desa saya masih sepi. Orang-orang lebih senang berdiam di dalam rumah. Namun, saya dan teman-teman harus keluar untuk tadarus.
Lalu, apakah saya takut waktu itu? Tentu saja, hati saya diselimuti rasa takut meski ketika berangkat dan pulang tadarus, saya bareng dengan teman-teman lainnya. Ya, berhubung rumah kami tidak berdekatan otomatis di pertengahan jalan, kami berpisah usai tadarus.
Hal lain yang paling saya ingat dari tadarus ini adalah kami mendapatkan jajanan ringan yang dibungkus dalam plastik ketika hendak pulang. Biasanya, tuan rumah yang menyediakan. Waktu itu, tentu saja kami sangat senang sekali.
Saya pun masih mengingat, bagaimana antusiasnya saya saat ibu mengajak membeli sejumlah makanan ringan untuk diberikan teman-teman nantinya.
Karena tadarus dilakukan malam hari, beberapa kali saya dihinggapi ngantuk. Bahkan, tak jarang ada juga seorang teman tertidur sewaktu menyimak sewaktu ada anggota yang membaca Alquran.
Saya tak ingat pasti berapa lama durasi tadarus yang kami lakukan. Hal ini karena tergantung pada kemampuan tiap anggota saat sedang membaca Alquran. Jika ada anggota yang masih belum fasih alias tidak lancar, tentu anggota lain harus membetulkan.
Setelah tadarus, sudah menjadi kewajiban bagi ketua kelompok untuk melapor ke penyelenggara tadarus (dalam hal ini ustaz dan ustazah). Biasanya, ketua akan ditemani satu orang untuk pergi ke TPA melaporkan kegiatan (surah dan ayat yang telah dibaca). Laporan ini dicatat di sebuah buku yang kemudian ditanda tangani oleh penyelenggara.
Nantinya, kelompok yang paling banyak khatam (tamat) Alquran dinyatakan sebagai pemenang.
Mungkin sekitar tiga atau empat tahun beruntun saya mengikuti kegiatan tadarus ini. Namun, hanya sekali kelompok saya memenangkan kompetisi tadarus. Pengumuman pemenang sendiri dilakukan usai Lebaran atau sewaktu kegiatan belajar mengajar di TPA aktif kembali.
Itulah sekelumit kenangan saya sewaktu Ramadan dulu ketika masih di desa. Tentu saja, berbeda sekali ketika saya tinggal di kota. Di sini, sepertinya tadarus tidak dilakukan di rumah secara bergantian, tetapi di musala atau masjid. Adakalanya membaca Alquran dengan memakai pengeras suara (speaker). Ya, tiap tempat memang bisa berbeda caranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H