Karena tadarus dilakukan malam hari, beberapa kali saya dihinggapi ngantuk. Bahkan, tak jarang ada juga seorang teman tertidur sewaktu menyimak sewaktu ada anggota yang membaca Alquran.
Saya tak ingat pasti berapa lama durasi tadarus yang kami lakukan. Hal ini karena tergantung pada kemampuan tiap anggota saat sedang membaca Alquran. Jika ada anggota yang masih belum fasih alias tidak lancar, tentu anggota lain harus membetulkan.
Setelah tadarus, sudah menjadi kewajiban bagi ketua kelompok untuk melapor ke penyelenggara tadarus (dalam hal ini ustaz dan ustazah). Biasanya, ketua akan ditemani satu orang untuk pergi ke TPA melaporkan kegiatan (surah dan ayat yang telah dibaca). Laporan ini dicatat di sebuah buku yang kemudian ditanda tangani oleh penyelenggara.
Nantinya, kelompok yang paling banyak khatam (tamat) Alquran dinyatakan sebagai pemenang.
Mungkin sekitar tiga atau empat tahun beruntun saya mengikuti kegiatan tadarus ini. Namun, hanya sekali kelompok saya memenangkan kompetisi tadarus. Pengumuman pemenang sendiri dilakukan usai Lebaran atau sewaktu kegiatan belajar mengajar di TPA aktif kembali.
Itulah sekelumit kenangan saya sewaktu Ramadan dulu ketika masih di desa. Tentu saja, berbeda sekali ketika saya tinggal di kota. Di sini, sepertinya tadarus tidak dilakukan di rumah secara bergantian, tetapi di musala atau masjid. Adakalanya membaca Alquran dengan memakai pengeras suara (speaker). Ya, tiap tempat memang bisa berbeda caranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H