Mohon tunggu...
Dewi Yuliyanti
Dewi Yuliyanti Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis sesegera mungkin apapun yang ada di benak

Seorang ibu dua anak dan abdi negara

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Penyertaan Tuhan Saat Dilanda Sakit Covid-19

31 Agustus 2021   09:34 Diperbarui: 31 Agustus 2021   09:40 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya pengalaman ini sudah lama berlalu, Januari 2021. Lama terpendam, hati ini tak mungkin memungkiri dan berat untuk tidak menuliskan kebaikan Tuhan dalam pertempuran melawan COVID-19 saat itu. Saya merasa saat ini saat yang tepat untuk membagikannya. Tentu dari sudut pandang iman saya. Namun saya berharap bermanfaat pula bagi pembaca lain lintas iman. 

Saya menaruh hormat dan simpati pada setiap keluarga yang kehilangan anggota keluarganya karena COVID-19 dan turut berduka bersama mereka, saya tahu yang dialami sangatlah berat. Semoga Tuhan senantiasa memberikan kekuatan. Tulisan ini saya sampaikan sebagai sharing semata seorang penyintas COVID-19 untuk saling menguatka selama pandemi ini karena setiap orang mengalami pergulatannya tersendiri, tidak selalu sama pada akhirnya, untuk itu saya mohon maaf jika ada isi yang kurang berkenan. 

Hidup di masa Pandemi Covid-19 dipenuhi dengan rasa was-was. Namun kewajiban untuk tetap mengemban tugas dan tanggung jawab membuat saya harus mengesampingkan rasa was-was itu dan sebisa mungkin mengalihkannya menjadi semangat mengingat di luar sana ada banyak sekali orang yang kehilangan pekerjaan akibat efek yang ditimbulkan Covid-19 ini dan saya yang masih bisa bekerja harus bersyukur untuk itu.

Saya bekerja sebaik mungkin, menjaga protokol kesehatan sebisa mungkin, namun selebihnya kehendak Tuhan lah yang berbicara.

Tanggal 7 Januari 2021, pembuka hari awal saya bekerja setelah libur tahun baru, saya demam. Saya merasa ini demam biasa, meski dalam hati saya menganalisa di musim pandemi saya demam, jangan-jangan... Saya lalu teringat, 3 hari sebelumnya saya bertemu seorang kawan yang lebih dulu mengalami demam. Detak jantung berdegup kencang seketika, rasa gelisah menyeruak. Tapi saya coba redamkan dengan terus mengecek gejala-gejala yang mungkin timbul. Demam saya hanya semalam dan semua kembali membaik hanya badan lemas, nafsu makan jauh berkurang.

Pada hari ke-5 tepatnya 12 Januari 2021, ketika bangun pagi, saya mencoba mengecek penciuman saya. Saya semprotkan parfum di pergelangan tangan, tidaaak! Saya tidak bisa menciumnya. Saya sekali lagi menyemprotkan parfum ke depan hidung persis, dan tak ada bau sama sekali. Hari itu lah saya putuskan memeriksakan diri.

Saya mendatangi sebuah rumah sakit swasta, menjalani pemeriksaan rapid antigen. Prosesnya sangat cepat dan hasilnya hari itu juga saya peroleh. Tidak menyenangkan mendengarnya, karena saya dinyatakan Positif Covid-19!

Reaksi awal ketika menerima hasil itu, shock tentu saja walaupun dalam hati saya merasa gejala itu telah mengarah ke sana. Tapi tetap saja kaget dan sulit untuk menerima kenyataan ini. Beberapa jam seperti orang tak berdaya, tidak bisa berpikir dan hanya melayang rasanya. Tak tahu harus bagaimana. Saya lalu mencoba berdoa, walau kata-kata yang keluar terasa hampa. Semua sudah terjadi. " Ya Tuhan kuatkan saya..." hanya itu yang terucap. Saya tidak terpikir untuk berdoa agar Tuhan membuat hasilnya menjadi negatif dan salah. Terlalu berlebihan rasanya permintaan itu, saya tau Tuhan pasti mengetahui apa yang saya rasakan dan saya cuma minta kekuatan.

Hari berjalan tidak biasa, saya harus diisolasi sendirian di kamar, anak-anak dan suami berada di kamar berbeda. Saya sama sekali tak bisa menjumpai mereka, hanya lewat video call walau hanya berbatas tembok. Semua keperluan makan minum dilayani suami saya dari luar. Di sinilah selama dua hari saya isolasi sendirian. Saya mulai membuka Alkitab lagi meneruskan rutinitas dengan Grup Gemar Membaca Alkitab dan baru bisa membacanya dengan lebih tenang. Saya juga mulai berdoa dengan lebih jernih.

Dua hari kemudian, dua anak saya dinyatakan positif juga setelah menjalani pemeriksaan. Namun Puji Tuhan, suami saya negatif. Saya menangis terharu, betapa baiknya Tuhan. Dia masih menyisakan satu orang yang sehat sehingga kami masih bisa isolasi mandiri di rumah dan suami memisahkan diri di rumah ipar yang kebetulan kosong, hanya berseberangan saja. Ini pun saya anggap jawaban doa, Tuhan memberi kemudahan bagi kami.

Dalam kondisi masih lemas, saya harus bangkit merawat anak-anak juga. Ketika saya bangun dan tak sanggup berdoa, saya selalu ucapkan, " Tuhan Yesus, Allah-ku yang hidup, kekuatanku," sambil terhuyung-huyung

melakukan aktivitas rumah tangga seperti biasa. Ajaib Tuhan...saya kuat. Anak-anak pun melewati demam sehari semalam saja. Sesudahnya mereka sudah biasa saja.

Serangan itu mulai datang kira-kira pada hari ke-8 isolasi mandiri. Saya mulai merasa cemas dan gugup karena sesak napas. Rasanya udara tidak bisa masuk ke dalam, saya coba menenangkan diri tapi terus gagal. Saya coba hubungi poli Covid di RS dimana saya mendapat pengobatan jarak jauh, mereka menyarankan saya minum obat asam lambung karena kemungkinan karena masalah di lambung dan meminta saya tetap berpikir positif. Semakin saya mencoba semakin saya gagal. Setiap serangan itu datang, anak sulung saya memberi kekuatan untuk tetap rileks. 

Tapi saya tetap gagal. Saya coba menghubungi dokter keluarga tapi dokter tersebut tidak diperbolehkan melakukan tindakan atau memberikan resep bagi pasien covid yang masih dalam perawatan poli covid. Aduuuh...tega betul rasanya. Saya pun menghubungi psikiater di sebuah aplikasi kesehatan online. Setelah ditanya-tanya, saya pun diberikan resep obat. Namun, obat ini pun susah sekali diperoleh, semua apotek mengatakan tidak ada. Belakangan saya baru tahu itu obat jenis anti depresan yang hanya bisa diperoleh dengan resep dokter langsung yang ketat walau dosisnya kecil. Semua pintu yang saya harapkan tertutup. Saya berpasrah diri, terus memandang Salib Tuhan, bilur-Mu telah menyembuhkan aku, walau sesak tidak tiba-tiba menghilang.

Hal itu terus terjadi hingga hari ke-14, saya merasa Tuhan turut campur dalam peristiwa tersebut. Dia tak meninggalkan saya, walau saya hanya sanggup memandang Salib yang tergantung di tembok, tak sanggup berucap kata doa, karena sesak yang melanda. Cemas mendera. Tuhan kekuatan saya yang menguatkan saya seperti pinta saya hingga hari ke-14! Tuhan ingin Dirinya tak tergantikan bahkan dengan obat anti-depresan yang disarankan dokter online.

Di hari ke-14, kami bertiga melakukan swab antigen kembali. Rasa sesak semakin sesak mengingat hasil yang akan saya peroleh. Petugas swab bilang hasilnya akan keluar 15 menit. Kami menunggu lebih dari itu, sambil menunggu saya berkata pada anak-anak yang tak sabar untuk pulang. " Waktunya masih lama, masih ada waktu untuk berdoa nak," kata saya. Maka dalam hati saya berdoa, tidak ingin memaksa Tuhan tapi saya memperkatakan hal yang baik " Kami negatif!" dan benar....hasilnya menunjukkan kami bertiga dinyatakam negatif setelah 45 menit menunggu. Puji Tuhan!

Kontan saya menangis tersedu-sedu...anak-anak memandangi saya. " Mama terharu ya? Kita negatif...., " ujar anak saya yang paling kecil. Betapa baiknya Tuhan, kasih Mu menguatkan kami hingga hari ke-14. Kami boleh melalui ini semua, seketika sesak saya berkurang, sepertinya sesak itu akibat psikis saja.

Saya teringat nats terakhir yang saya baca adalah Kitab Keluaran 33 berjudul Musa Meminta Penyertaan Tuhan di Padang Gurun. Ada ayat yang berbunyi : " Aku mengenal namamu dan juga engkau mendapat kasih karunia-Ku.....Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketentraman kepadamu." Dalam isolasi mandiri, ayat ini terbaca oleh saya. Tuhan sungguh berbicara pada saya. Dia tegas mengatakannya seperti pada Musa. Terpujilah Tuhan, saya beroleh kasih karunia-Nya dan janji untuk menentramkan hati saya hingga kesusahan perjuangan itu terlewati.

Saya ingin berbagi pengalaman ini, bagi saudara-saudaraku yang sedang sakit khususnya Covid-19, penyakit ini dapat disembuhkan. Virus ini tidak hanya menakut-nakuti lebih dari apapun. Sehingga bila kita tidak menyiapkan senjata rohani, entahlah apa jadinya saya waktu itu yang dilanda kecemasan akut hingga susah bernapas. Iblis berbisik berulang-ulang " Kamu akan sesak napas karena covid-19!" Dan itu membuat saya semakin drop dan justru mengalaminya, udara seakan semakin sulit untuk dihirup karena rasa takut berlebihan.

Untuk mengatasinya ternyata saya perlu mengobati tidak hanya fisik namun mental/rohani saya. Benarlah, ini adalah peperangan rohani, yang hanya bisa ditaklukkan oleh senjata rohani yaitu Doa dan Firman Tuhan. Percayalah, Firman Tuhan itu benar-benar menjadi pedang untuk menghalau musuh yang tidak kelihatan, ia memberi kekuatan dan kesegaran dalam kesesakan. Tak lupa terus memandang Salib Tuhan bahkan ketika saya sulit berkata dalam doa. Dia tau pergumulan dan kesakitan saya. Penyakit ini kejam karena kita ditinggalkan seorang diri. Bertemu dokter pun sangat sulit, obat juga tidak sembarangan diberikan sesuai keinginan kita. Praktis, hanya saya dan Tuhan, dan tentu saja musuh utama si iblis yang merongrong iman kita dengan menebarkan ketakutan.

Saya bersyukur jauh hari sebelumnya saya mulai gerakan membaca Alkitab walaupun masih sering jatuh bangun, sering bolong-bolong tapi saya berusaha membacanya kembali. Itu bukanlah sebuah kebetulan. Jika Tuhan ijinkan saya sakit Covid-19, ternyata jauh hari Tuhan telah meminta saya membaca Firman-Nya, senjata rohani saya. 

Rasa sakit itu pasti dirasakan, namun janji Tuhan jauh lebih pasti. Tiap pagi saya membuka mata, itulah janji Tuhan memberi harapan baru, hidup baru untuk saya. Terpujilah nama Tuhan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun