Demam Korea  masih bergeliat  di kalangan  generasi  Z saat ini, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Booming kehadiran  boy band, girl band,  dan  drama  Korea  masih  terus menanjak  sehingga mengalahkan sakralnya gerakan tarian randai yang dibawakan dengan musik tradisional Minangkabau, berupa talempong, pupuik batang padi, rebab, bansi  ataupun  saluang.
Kondisi ini boleh saja terjadi di  wilayah perkotaan  namun tidak di kota kecil , sebut saja Solok, Sumatera Barat. Semua itu karena kegigihan segelintir pegiat kesenian  menghidupkan kesenian tradisional, randai. Salah satunya di  wilayah kecamatan Lembang Jaya , tepatnya nagari Kotolaweh, tiap 2 kali seminggu, belasan anak-anak hingga remaja giat berlatih randai.
Dikutip dari Wikipedia, disebutkan randai merupakan salah satu permainan tradisional di Minangkabau yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian.
Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu, ceritanya diambil  dari kenyataan hidup yang ada di tengah masyarakat.Â
Fungsi Randai sendiri adalah sebagai seni pertunjukan hiburan yang di dalamnya juga disampaikan pesan dan nasihat. Cerita-cerita yang kerap dibawakan , seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, Sabai Nan aluih, Lareng Simawang Jo Siti Jamilah Maelo Rambuik dalam Tampuang, Galombang Dunie dan cerita rakyat lainnya.
Pada awalnya randai merupakan permainan komunal yang dimainkan oleh pemuda di halaman surau pada malam hari menjelang tidur. Pemuda yang memainkan kesenian ini sebelumnya diajari oleh Pemuda Nagari (Pemuda Desa).
Saya sempat mendiskusikan tentang kesenian randai ini  dengan ayah saya yang notabene lahir dan besar di ranah Minang. Menurut beliau dimasa lalu  randai menjadi aktivitas seni yang paling diminati remaja karena memadukan gerak tari dan gerak silat sebenarnya yang berfungsi untuk memagari diri dari bahaya. Beliau pun dengan perasaan bangga mengaku sebagai anak randai di kampung halamannya di Limau Lunggo, Solok.
"Dulu pemuda-pemuda tanggung sudah bergabung  jadi anak randai. Kalau sudah jadi anak randai, pertanda dia adalah anak gaul di masanya," ungkap ayah saya yang saat ini berusia 75 tahun.
Namun sekarang ini randai dijadikan seni pertunjukan di berbagai kegiatan seperti pernikahan, pesta rakyat, pengangkatan penghulu sampai perayaan hari raya Idul fitri, pertunjukan ini bertujuan untuk menghibur masyarakat.
"Sekarang ini randai berfungsi sebagai seni pertunjukan, kami kerap memenuhi panggilan untuk tampil di berbagai acara baralek (pernikahan).  Kini sekalipun randai  ada gerakan silatnya ,  itu lebih kepada silek bungo (silat bunga)  yang gerakannya semacam aksesoris agar terlihat indah, " beber Mustapa Jo Endah, pegiat randai sekaligus pimpinan sanggar Sinar Lembang Kotaweh.