Hari ini, semua orang seolah bernostalgia dengan lontong  sayur Ibu Maradi yang legend itu.
Tidak terkecuali saya, setiba di kediaman Uni Emi seketika mencari lontong sayurnya. Meski di meja makan juga  tersedia aneka makanan khas Minang , mulai dari rendang daging, kalio jariang (jengkol-red),  balado udang dll.Â
Saya lebih tertarik menikmati  sepiring lontong dengan  gulai tauco sayur buncis.  Perlahan, suapan demi suapan saya nikmati agar tidak  segera terlepas dari lontong  sayur nostalgic itu.
Tidak peduli kata orang ; 'resep boleh  sama, tapi kalau yang memasak berbeda orang, maka akan mempengaruhi rasa' (tidak akan sama  seratus persen sama).  Tidak ada yang salah dengan ungkapan tersebut. Namun, sekali lagi,  pada hari itu, semua orang larut dalam kenangannya sendiri-sendiri.
 "Tadi saya sengaja tidak  makan nasi, sudah merasa kenyang makan lontong. Lontong buatan Uni  Emi sama persis seperti buatan  Ibu Maradi. Lontongnya enak,  serasa makan  telur. Bana-bana lapeh taragak ( benar-benar lepas rasa kangen-red)," puji salah satu peserta arisan dalam Bahasa Minang khas Kotolaweh.
Maka tidaklah salah, apabila dikatakan  lontong sayur  Ibu Maradi adalah kenangan masa kecil yang indah bagi para perantau urang Kotolaweh.  Dimana, masa menikmatinya, kita  belum didera oleh persoalan hidup yang dialami oleh orang dewasa.
Sehingga  ketika beberapa bulan lalu, Uni Emi menawarkan  rumahnya untuk menggelar arisan,  semua warga  di WA Grup  menyetujuinya.
"Jika tidak keberatan bolehkah arisan pada awal tahun 2023 diadakan di rumah Uni? Â Beko (nanti) uni siapkan lontong sayur Ibu Maradi," begitu Uni Emi memberi iming-iming, Â kala itu.
Uni Emi pun menepati janjinya, senyum kebahagiaan  terus terkembang  menyambut tamu arisan yang datang ke kediamannya.